Jakarta (Antara Bali) - Pengamat ekonomi Aviliani menilai rencana kebijakan redenominasi rupiah belum penting untuk dilakukan saat ini karena Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah yang perlu diselesaikan.
"Saya kurang setuju dengan redenominasi karena saat ini kita sedang menghadapi banyak masalah seperti krisis global dan perbaikan konsolidasi internal," kata Aviliani usai acara "Economy Outlook 2013 : Terus Tumbuh Dengan Kekuatan Domestik " yang diadakan oleh Komite Ekonomi Nasional (KEN) di Jakarta, Senin.
Ekonom yang juga menjabat sebagai Sekretaris KEN itu mengatakan ketidaksetujuannya tersebut bukan berarti menolak redenominasi, namun kebijakan itu belum tepat dilaksanakan dalam kondisi negara sekarang.
"Selain karena belum 'urgent' dilakukan saat ini, implikasi dari redenominasi bisa ke inflasi juga," kata Aviliani.
Orang akan merasa murah dengan adanya redenominasi sehingga ketika harga naik sedikit tidak menjadi masalah, katanya.
Aviliani juga menambahkan pemerintah juga perlu mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk pencetakan ulang uang rupiah.
"Sekarang aja PDB kita Rp8 triliun, coba bayangkan berapa biaya cetaknya," ujar Aviliani. (LHS/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
"Saya kurang setuju dengan redenominasi karena saat ini kita sedang menghadapi banyak masalah seperti krisis global dan perbaikan konsolidasi internal," kata Aviliani usai acara "Economy Outlook 2013 : Terus Tumbuh Dengan Kekuatan Domestik " yang diadakan oleh Komite Ekonomi Nasional (KEN) di Jakarta, Senin.
Ekonom yang juga menjabat sebagai Sekretaris KEN itu mengatakan ketidaksetujuannya tersebut bukan berarti menolak redenominasi, namun kebijakan itu belum tepat dilaksanakan dalam kondisi negara sekarang.
"Selain karena belum 'urgent' dilakukan saat ini, implikasi dari redenominasi bisa ke inflasi juga," kata Aviliani.
Orang akan merasa murah dengan adanya redenominasi sehingga ketika harga naik sedikit tidak menjadi masalah, katanya.
Aviliani juga menambahkan pemerintah juga perlu mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk pencetakan ulang uang rupiah.
"Sekarang aja PDB kita Rp8 triliun, coba bayangkan berapa biaya cetaknya," ujar Aviliani. (LHS/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012