Anggota DPD RI Made Mangku Pastika berpandangan masalah ego sektoral masih menjadi hambatan terbesar dalam penanganan sampah di Provinsi Bali, yang hingga saat ini belum menemukan solusi tepat.
"Masalah sampah di Bali memang terlalu besar dan kompleks jika ditangani oleh kelompok yang kecil. Selama ini sampah dianggap tidak terlalu perlu, tetapi sebenarnya sangat esensial bagi hidup kita. Saya merasakan betapa pemerintah pusat panik menjelang pelaksanaan IMF-World Bank terhadap sampah di TPA Suwung," katanya saat melakukan penyerapan aspirasi secara virtual, di Denpasar, Senin.
Mantan Gubernur Bali dua periode itu mengungkapkan sebelumnya pemerintah pusat menjelang pertemuan IMF-WB akhirnya mengambil gerak cepat menimbun sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Suwung, Kota Denpasar.
"Namun yang dilakukan pusat itu hanya bersifat sementara, kembali masalah latennya harus ditangani, seperti gas metannya hingga lindinya yang meluap sampai mengganggu vegetasi di laut, selain dari sisi tumpukan sampahnya," ucapnya pada penyerapan aspirasi bertajuk "Pengelolaan Sampah sebagai Upaya Mewujudkan Visi Misi Pemerintah Provinsi Bali Nangun Sat Kerthi Loka Bali" itu.
Dia mengakui selama 10 tahun memimpin Bali, belum bisa menyelesaikan persoalan sampah di masyarakat maupun di TPA Suwung. Walaupun juga sudah lebih dari 50 investor yang datang menyampaikan pemaparan dan menyatakan tertarik untuk menangani sampah di lokasi itu.
Baca juga: Mangku Pastika: optimalkan potensi kawasan pesisir dan pantai di Bali
Menurut dia, kendala terbesarnya karena ego sektoral. Contohnya saja ketika ada perusahaan yang ingin berinvestasi untuk mengelola TPA Suwung dan harus membangun menara setinggi 60 - 80 meter, tentu akan sulit mendapatkan izin dari Pemerintah Kota Denpasar karena dihadapkan pada regulasi batas ketinggian bangunan maksimal 15 meter.
Selanjutnya masih ada persoalan perikatan dengan sejumlah pihak lain dan ada pihak-pihak yang saling bersikukuh, serta karena statusnya TPA Regional ada yang menyebut itu kewenangan pemerintah provinsi untuk mengoordinasikan. Namun di sisi lain, TPA tersebut berada di wilayah Kota Denpasar sehingga juga menjadi kewenangan pemerintah kota.
Untuk biaya penanganan sampah, lanjut Pastika, hampir setiap rumah tangga di Bali juga telah membayar retribusi sampah. Hanya saja peruntukan uang tersebut juga tidak jelas, sehingga yang seharusnya hanya sampah residu yang ke TPA, tetapi buktinya tetap menumpuk.
"Jadi, persoalan dalam pengelolaan sampah, tidak saja dari sisi teknis dan uang, tetapi juga dibutuhkan komitmen yang sama," ucap mantan Kapolda Bali itu.
Meskipun demikian, Pastika menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada jajaran pemerintah daerah dan sejumlah LSM yang selama ini telah bersungguh-sungguh mencoba mengurai benang kusut persoalan sampah di Bali.
Baca juga: Pastika optimistis pertanian Bali bisa lebih baik
Sementara itu, Kabid Pengelolaan Sampah, Limbah B3 Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bali I Made Dwi Arbani mengatakan Pemerintah Provinsi Bali maupun pemerintah kabupaten/kota sudah menerbitkan sejumlah regulasi dalam bentuk perda ataupun pergub untuk mengatasi sampah.
"Hanya saja implementasinya belum optimal sehingga akhirnya tetap saja sampah menumpuk di TPA dan dibutuhkan anggaran pengelolaan yang sangat besar. Namun, penganggaran di pemerintah kabupaten/kota untuk pengelolaan sampah, khususnya biaya operasional terbilang masih rendah," ujarnya.
Kementerian PUPR, lanjut Dwi, sesungguhnya banyak membangun tempat pembuangan sampah sementara, hanya saja akhirnya banyak yang tidak berfungsi karena tidak ada biaya operasional secara berkelanjutan.
Dia menambahkan, untuk volume timbulan sampah di Provinsi Bali per tahunnya itu sekitar 973.315,05 ton.
Selain itu Bali juga dihadapkan pada kebocoran sampah plastik pada lingkungan. Di Bali, dari 856,2 ton sampah plastik yang dihasilkan per harinya, yang sudah tertangani dengan baik sebesar 419,5 ton (49 persen) dan yang tidak ditangani dengan baik sebanyak 436,7 ton.
"Yang ditangani dengan baik itu meliputi yang didaur ulang dan diangkut ke TPA, sedangkan yang tidak ditangani itu diantaranya ada yang dibakar, terbuang ke lingkungan dan terbuang ke saluran air," ucapnya pada kegiatan yang juga menghadirkan narasumber Kepala UPTD Pengelolaan Sampah DLHK Provinsi Bali Ni Made Armadi itu.
Baca juga: Anggota DPD Bali dorong peningkatan kualitas buah lokal
Sementara Ni Made Ayu Widiasari, dari Forum Bali Resik, mengatakan memang diperlukan lebih banyak edukasi kepada masyarakat, sehingga mereka bisa turut mengelola sampah berbasis sumber.
"Sampah yang sampai ke TPA itu masih cukup tinggi dan kami sangat mengharapkan agar pemerintah pusat bisa segera membantu Bali untuk turut menangani persoalan sampah karena pemerintah daerah di tengah COVID-19 ini mengalami keterbatasan anggaran," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
"Masalah sampah di Bali memang terlalu besar dan kompleks jika ditangani oleh kelompok yang kecil. Selama ini sampah dianggap tidak terlalu perlu, tetapi sebenarnya sangat esensial bagi hidup kita. Saya merasakan betapa pemerintah pusat panik menjelang pelaksanaan IMF-World Bank terhadap sampah di TPA Suwung," katanya saat melakukan penyerapan aspirasi secara virtual, di Denpasar, Senin.
Mantan Gubernur Bali dua periode itu mengungkapkan sebelumnya pemerintah pusat menjelang pertemuan IMF-WB akhirnya mengambil gerak cepat menimbun sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Suwung, Kota Denpasar.
"Namun yang dilakukan pusat itu hanya bersifat sementara, kembali masalah latennya harus ditangani, seperti gas metannya hingga lindinya yang meluap sampai mengganggu vegetasi di laut, selain dari sisi tumpukan sampahnya," ucapnya pada penyerapan aspirasi bertajuk "Pengelolaan Sampah sebagai Upaya Mewujudkan Visi Misi Pemerintah Provinsi Bali Nangun Sat Kerthi Loka Bali" itu.
Dia mengakui selama 10 tahun memimpin Bali, belum bisa menyelesaikan persoalan sampah di masyarakat maupun di TPA Suwung. Walaupun juga sudah lebih dari 50 investor yang datang menyampaikan pemaparan dan menyatakan tertarik untuk menangani sampah di lokasi itu.
Baca juga: Mangku Pastika: optimalkan potensi kawasan pesisir dan pantai di Bali
Menurut dia, kendala terbesarnya karena ego sektoral. Contohnya saja ketika ada perusahaan yang ingin berinvestasi untuk mengelola TPA Suwung dan harus membangun menara setinggi 60 - 80 meter, tentu akan sulit mendapatkan izin dari Pemerintah Kota Denpasar karena dihadapkan pada regulasi batas ketinggian bangunan maksimal 15 meter.
Selanjutnya masih ada persoalan perikatan dengan sejumlah pihak lain dan ada pihak-pihak yang saling bersikukuh, serta karena statusnya TPA Regional ada yang menyebut itu kewenangan pemerintah provinsi untuk mengoordinasikan. Namun di sisi lain, TPA tersebut berada di wilayah Kota Denpasar sehingga juga menjadi kewenangan pemerintah kota.
Untuk biaya penanganan sampah, lanjut Pastika, hampir setiap rumah tangga di Bali juga telah membayar retribusi sampah. Hanya saja peruntukan uang tersebut juga tidak jelas, sehingga yang seharusnya hanya sampah residu yang ke TPA, tetapi buktinya tetap menumpuk.
"Jadi, persoalan dalam pengelolaan sampah, tidak saja dari sisi teknis dan uang, tetapi juga dibutuhkan komitmen yang sama," ucap mantan Kapolda Bali itu.
Meskipun demikian, Pastika menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada jajaran pemerintah daerah dan sejumlah LSM yang selama ini telah bersungguh-sungguh mencoba mengurai benang kusut persoalan sampah di Bali.
Baca juga: Pastika optimistis pertanian Bali bisa lebih baik
Sementara itu, Kabid Pengelolaan Sampah, Limbah B3 Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bali I Made Dwi Arbani mengatakan Pemerintah Provinsi Bali maupun pemerintah kabupaten/kota sudah menerbitkan sejumlah regulasi dalam bentuk perda ataupun pergub untuk mengatasi sampah.
"Hanya saja implementasinya belum optimal sehingga akhirnya tetap saja sampah menumpuk di TPA dan dibutuhkan anggaran pengelolaan yang sangat besar. Namun, penganggaran di pemerintah kabupaten/kota untuk pengelolaan sampah, khususnya biaya operasional terbilang masih rendah," ujarnya.
Kementerian PUPR, lanjut Dwi, sesungguhnya banyak membangun tempat pembuangan sampah sementara, hanya saja akhirnya banyak yang tidak berfungsi karena tidak ada biaya operasional secara berkelanjutan.
Dia menambahkan, untuk volume timbulan sampah di Provinsi Bali per tahunnya itu sekitar 973.315,05 ton.
Selain itu Bali juga dihadapkan pada kebocoran sampah plastik pada lingkungan. Di Bali, dari 856,2 ton sampah plastik yang dihasilkan per harinya, yang sudah tertangani dengan baik sebesar 419,5 ton (49 persen) dan yang tidak ditangani dengan baik sebanyak 436,7 ton.
"Yang ditangani dengan baik itu meliputi yang didaur ulang dan diangkut ke TPA, sedangkan yang tidak ditangani itu diantaranya ada yang dibakar, terbuang ke lingkungan dan terbuang ke saluran air," ucapnya pada kegiatan yang juga menghadirkan narasumber Kepala UPTD Pengelolaan Sampah DLHK Provinsi Bali Ni Made Armadi itu.
Baca juga: Anggota DPD Bali dorong peningkatan kualitas buah lokal
Sementara Ni Made Ayu Widiasari, dari Forum Bali Resik, mengatakan memang diperlukan lebih banyak edukasi kepada masyarakat, sehingga mereka bisa turut mengelola sampah berbasis sumber.
"Sampah yang sampai ke TPA itu masih cukup tinggi dan kami sangat mengharapkan agar pemerintah pusat bisa segera membantu Bali untuk turut menangani persoalan sampah karena pemerintah daerah di tengah COVID-19 ini mengalami keterbatasan anggaran," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020