Ketua KPU Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan mengusulkan dalam tahapan Pilkada 2020 di enam kabupaten/kota di Pulau Dewata agar diisi dengan sosialisasi rekam jejak masing-masing pasangan calon kepala daerah.
"Nanti rekaman videonya bisa disimpan dalam bentuk CD tentang siapa calon tersebut dan bagaimana 'track record'-nya, yang dikirimkan ke masing-masing banjar (dusun)," kata Lidartawan, di Denpasar, Kamis.
Selain itu, tambah dia, bisa juga dibuat semacam layar lebar dengan diputarkan video yang memuat rekam jejak calon peserta pilkada, sehingga pemilih bisa belajar mengenai calon pemimpin yang akan dicoblos pada 23 September 2020 itu.
"Prinsipnya metode sosialisasi pilkada yang dilakukan memang harus berbeda dari yang selama ini jika ingin membuat masyarakat tertarik untuk memilih," ucapnya.
Menurut Lidartawan, figur dari calon pemimpin itu sangat menentukan apakah publik mau memilih atau tidak dalam pilkada, apalagi jika dilihat berdasarkan pengalaman Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019.
Baca juga: KPU Bali jadi contoh "Rumah Pintar Pemilu Elektronik"
"Nanti setelah tahap pencalonan, saya akan undang seluruh calon ke KPU Provinsi Bali. Di situ akan dilakukan kesepakatan dengan seluruh partai politik terkait alat peraga sosialisasi calon," ucapnya.
Termasuk juga kesepakatan untuk meminimalisasi penggunaan alat peraga berbahan plastik. "Minimal kalau mau buat baliho, paling tidak hanya ada satu di masing-masing desa. Kalau bisa, kembali ke kain yakni disablon biasa, tetapi sisanya dalam bentuk CD atau film tentang siapa calon dan bagaimana 'track record-nya," kata Lidartawan yang juga mantan Ketua KPU Kabupaten Bangli itu.
Dalam acara yang digelar Polda Bali belum lama ini yang mengundang sejumlah pimpinan parpol, lanjut Lidartawan, mereka sudah sepakat untuk mengurangi penggunaan baliho dalam pilkada. "Pasang baliho itu lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya," ujarnya.
Di sisi lain, di tengah tingginya jumlah pemilih milenial, Lidartawan mengatakan sosialisasi pilkada bisa pula lewat karikatur, terlebih partisipasi pemilih yang ditargetkan Gubernur Bali Wayan Koster juga cukup tinggi yakni sebesar 85 persen.
"Jika sosialisasi menggunakan kaos selama ini biasanya berisi simbol-simbol KPU dan setelah acara sosialisasi 'nggak pernah dipakai lagi, sebaiknya itu diubah. Saya sarankan 'bikin' sesuatu yang membuat penasaran, misalnya bertuliskan 'Ayo Nae', sehingga setelah sering digunakan, masyarakat menjadi paham bahwa sesungguhnya tulisan itu mengajak untuk memilih dalam pilkada," kata Lidartawan.
Baca juga: KPU Bali pastikan kesiapan dan anggaran pilkada bupati aman
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
"Nanti rekaman videonya bisa disimpan dalam bentuk CD tentang siapa calon tersebut dan bagaimana 'track record'-nya, yang dikirimkan ke masing-masing banjar (dusun)," kata Lidartawan, di Denpasar, Kamis.
Selain itu, tambah dia, bisa juga dibuat semacam layar lebar dengan diputarkan video yang memuat rekam jejak calon peserta pilkada, sehingga pemilih bisa belajar mengenai calon pemimpin yang akan dicoblos pada 23 September 2020 itu.
"Prinsipnya metode sosialisasi pilkada yang dilakukan memang harus berbeda dari yang selama ini jika ingin membuat masyarakat tertarik untuk memilih," ucapnya.
Menurut Lidartawan, figur dari calon pemimpin itu sangat menentukan apakah publik mau memilih atau tidak dalam pilkada, apalagi jika dilihat berdasarkan pengalaman Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019.
Baca juga: KPU Bali jadi contoh "Rumah Pintar Pemilu Elektronik"
"Nanti setelah tahap pencalonan, saya akan undang seluruh calon ke KPU Provinsi Bali. Di situ akan dilakukan kesepakatan dengan seluruh partai politik terkait alat peraga sosialisasi calon," ucapnya.
Termasuk juga kesepakatan untuk meminimalisasi penggunaan alat peraga berbahan plastik. "Minimal kalau mau buat baliho, paling tidak hanya ada satu di masing-masing desa. Kalau bisa, kembali ke kain yakni disablon biasa, tetapi sisanya dalam bentuk CD atau film tentang siapa calon dan bagaimana 'track record-nya," kata Lidartawan yang juga mantan Ketua KPU Kabupaten Bangli itu.
Dalam acara yang digelar Polda Bali belum lama ini yang mengundang sejumlah pimpinan parpol, lanjut Lidartawan, mereka sudah sepakat untuk mengurangi penggunaan baliho dalam pilkada. "Pasang baliho itu lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya," ujarnya.
Di sisi lain, di tengah tingginya jumlah pemilih milenial, Lidartawan mengatakan sosialisasi pilkada bisa pula lewat karikatur, terlebih partisipasi pemilih yang ditargetkan Gubernur Bali Wayan Koster juga cukup tinggi yakni sebesar 85 persen.
"Jika sosialisasi menggunakan kaos selama ini biasanya berisi simbol-simbol KPU dan setelah acara sosialisasi 'nggak pernah dipakai lagi, sebaiknya itu diubah. Saya sarankan 'bikin' sesuatu yang membuat penasaran, misalnya bertuliskan 'Ayo Nae', sehingga setelah sering digunakan, masyarakat menjadi paham bahwa sesungguhnya tulisan itu mengajak untuk memilih dalam pilkada," kata Lidartawan.
Baca juga: KPU Bali pastikan kesiapan dan anggaran pilkada bupati aman
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020