Denpasar (Antaranews Bali) - Wartawan yang juga Kepala "China News Service" (CNS) Perwakilan Indonesia, Lin Yongchuan, mengakui jatuh cinta dengan Indonesia setelah "tahu" sendiri dan bertugas selama 1,5 tahun di Bumi Nusantara.
"Awalnya, banyak teman dan keluarga yang merasa heran, kenapa saya mau ke negeri yang berantakan dan tidak modern, mereka mengkhawatirkan penugasan saya, tapi setelah tahu apa yang ada dengan sebenarnya, saya justru jatuh cinta," katanya di Denpasar, Jumat (13/7) malam.
Dalam Pertemuan Jurnalis Indonesia-Tiongkok di kediaman Konsul Jenderal RRT di Denpasar Gou Haodong itu tampak hadir wartawan dan pimpinan media dari enam media China dan enam media di Bali. Ada pula Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, dan Ketua PWI Bali IGMB Dwikora Putra.
Perwakilan jurnalis dari Indonesia (Bali) antara lain LKBN Antara, TVRI, Bali Post, Radar Bali, Bali TV, dan sebagainya, sedangkan perwakilan dari China antara lain CNS Perwakilan Indonesia, China Radio International (CRI) Biro Indonesia, Harian Nusantara, dan sebagainya. Sebelumnya, perwakilan media Bali itu telah diundang Konjen RRT di Denpasar untuk berkunjung ke Fujian dan Zhejiang (RRT) pada 2-11 Mei 2018.
Menurut Lin Yongchuana, pengalamannya beberapa lama berinteraksi dengan masyarakat Indonesia membuktikan kebenaran pepatah bahwa tahu sendiri secara langsung itu berbeda dengan mendengar dari orang lain.
"Setelah tahu sendiri tentang Indonesia, saya menilai masyarakat Indonesia itu baik, ramah, dan sederhana, selain itu pemandangan alamnya juga bagus, karena itu kerja sama antar-wartawan Indonesia-Tiongkok itu penting agar semakin banyak orang tahu fakta yang sebenarnya," katanya.
Oleh karena itu, ia menilai tugas yang diemban setelah "tahu" adalah memperkenalkan secara benar tentang keadaan Indonesia kepada masyarakat Tiongkok, sekaligus memperkuat kerja sama antar-media dalam tukar informasi apa yang ada di negara masing-masing.
Dalam kesempatan itu, wartawan yang berasal dari Provinsi Fujian itu menyatakan senang dengan kedatangan wartawan Bali ke provinsi kelahirannya (Fujian), sehingga mereka "tahu sendiri" adanya prasasti kedatangan Islam di Tiongkok.
"Saya senang, karena saya dari Fujian dan saya juga yang menemukan prasasti kedatangan pemuka agama Islam di Tiongkok hingga akhirnya masuk museum dan mulai dikenal masyarakat dunia," katanya.
Sekali melihat
Senada dengan itu, Kepala "China Radio International" (CRI) Biro Indonesia, Li Shukun, menyatakan sepakat dengan kerja sama antar-wartawan, karena pihaknya sudah sering melakukan peliputan bersama dengan wartawan Indonesia ke berbagai kawasan di China sejak tahun 2010, sehingga apa saja tentang Tiongkok dapat dilaporkan sesuai fakta yang sebenarnya.
"Tahun 2010-2013, CRI sempat mengadakan siaran bersama dengan Radio Elshinta. Tahun 2011-2015, CRI sempat melakukan peliputan bersama wartawan Indonesia tentang budaya Muslim di China. Tahun 2015-2017, kami melakukan peliputan bersama tentang Jalur Sutera Maritim. Tahun ini, kami senang sejumlah konsulat memfasilitasi wartawan Indonesia ke Tiongkok," katanya.
Dalam pertemuan itu, Konsul Jenderal RRT di Denpasar Gou Haodong mempertegas pepatah China dari Zhao Chong (Dinasti Han Barat) yang dikutip Kepala Biro LKBN Antara Bali Edy M Yakub bahwa "sekali melihat (sendiri) lebih baik daripada seratus kali mendengar (dari orang lain)".
"Selama tiga bulan bertugas di Bali, teman saya paling banyak dari media. Dari mereka saya tahu bahwa Indonesia-Tiongkok itu banyak kemiripan, namun pemahaman diantara keduanya belum cukup mendalam," katanya.
Oleh karena itu, ia pun mengajak sepuluh media di Bali untuk datang ke Tiongkok, karena pengalamannya bertugas di Afrika Selatan selama belasan tahun menunjukkan persahabatan antar-negara itu sangat bergantung pada persahabatan antar-rakyat. "Setelah tahu, ternyata mereka pun tahu bahwa Tiongkok itu jauh dari apa yang menjadi bayangannya selama ini, seperti diceritakan Pak Edy dari Antara. Di sini ada pepatah, yakni jauh dimata, dekat dihati," katanya.
Dalam acara yang juga diakhiri dengan makan malam itu, Kepala Stasiun TVRI Bali M Syifa menyatakan kekaguman terhadap sosok orang-orang Tiongkok. "Terlepas dari nada bicara yang agak keras, sosok orang Tiongkok itu sebenarnya mengagumkan, karena cara mereka melayani tamu sangat luar biasa. Saya kira, orang Bali harus belajar kepada Tiongkok dalam melayani tamu, meski pemandangan alam disini sudah bagus. Mereka juga menata kota dengan asri dan sejuk melalui hutan kota dimana-mana," katanya.
Sementara itu, Edy M Yakub dari LKBN Antara Biro Bali menyebutkan tiga pandangan "sebelum" ke Tiongkok yakni komunis atau tak ber-Tuhan, otoriter dengan melarang media sosial, dan tidak demokratis dengan membatasi informasi media. "Tapi, "setelah" dari Tiongkok, saya menemukan di Tiongkok banyak tempat ibadah, jadi komunis itu hanya sistem politik. Soal medsos hanya memakai WeChat dan bukan whatsapp, facebook, twitter, line, youtube, instagram, dan sebagainya itu bukan otoriter, tapi untuk pemberdayaan potensi dalam negeri. Soal tidak demokratis itu ternyata media Tiongkok tetap bisa mengkritik, tapi caranya bersifat demokrasi ala Timur yang mengacu pada aturan main," kata Edy.
Menanggapi pertanyaan Ketua PWI Bali IGMB Dwikora Putra tentang "kebebasan pers" di RRT, Konsul RRT di Denpasar Gou Haodong menegaskan bahwa informasi positif dan negatif itu cukup banyak, namun wartawan selalu berpegang pada dua prinsip yakni fakta dan keseimbangan. "Wartawan memang memiliki kebebasan dan bebas melakukan kritik, namun wartawan harus bertanggung jawab. Di Afrika Selatan ada negara kaya yang akhirnya miskin akibat pemberitaan negatif terhadap pemerintah, padahal pemimpinnya dipilih rakyat," katanya.
Oleh karena itu, kata diplomat yang sangat dekat dengan media itu, wartawan harus menggunakan kebebasan yang dimiliki dengan tanggung jawab dan sikap yang profesional, sehingga hoax, fitnah, dan sejenisnya dapat dihindari untuk menjaga fakta itu sendiri agar tetap berimbang, faktual, profesional, dan bertanggung jawab. (lhs)
Baca juga: "sekali melihat (Tiongkok) lebih baik daripada mendengar" (video)
Baca juga: Konjen RRT Denpasar ingin tingkatkan hubungan antarmasyarakat
Baca juga: Konjen RRT kagumi masyarakat Bali menjaga budaya
Baca juga: Belasan wartawan-humas DPRD Jambi "serbu" Antara Bali
Hyperlink : https://www.obortimes.net/language/id/berita/
Baca Juga: Video Tentang ANTARA Biro Bali
Baca juga: Konjen RRT Denpasar bantah kamp pengasingan muslim Uighur
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Awalnya, banyak teman dan keluarga yang merasa heran, kenapa saya mau ke negeri yang berantakan dan tidak modern, mereka mengkhawatirkan penugasan saya, tapi setelah tahu apa yang ada dengan sebenarnya, saya justru jatuh cinta," katanya di Denpasar, Jumat (13/7) malam.
Dalam Pertemuan Jurnalis Indonesia-Tiongkok di kediaman Konsul Jenderal RRT di Denpasar Gou Haodong itu tampak hadir wartawan dan pimpinan media dari enam media China dan enam media di Bali. Ada pula Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, dan Ketua PWI Bali IGMB Dwikora Putra.
Perwakilan jurnalis dari Indonesia (Bali) antara lain LKBN Antara, TVRI, Bali Post, Radar Bali, Bali TV, dan sebagainya, sedangkan perwakilan dari China antara lain CNS Perwakilan Indonesia, China Radio International (CRI) Biro Indonesia, Harian Nusantara, dan sebagainya. Sebelumnya, perwakilan media Bali itu telah diundang Konjen RRT di Denpasar untuk berkunjung ke Fujian dan Zhejiang (RRT) pada 2-11 Mei 2018.
Menurut Lin Yongchuana, pengalamannya beberapa lama berinteraksi dengan masyarakat Indonesia membuktikan kebenaran pepatah bahwa tahu sendiri secara langsung itu berbeda dengan mendengar dari orang lain.
"Setelah tahu sendiri tentang Indonesia, saya menilai masyarakat Indonesia itu baik, ramah, dan sederhana, selain itu pemandangan alamnya juga bagus, karena itu kerja sama antar-wartawan Indonesia-Tiongkok itu penting agar semakin banyak orang tahu fakta yang sebenarnya," katanya.
Oleh karena itu, ia menilai tugas yang diemban setelah "tahu" adalah memperkenalkan secara benar tentang keadaan Indonesia kepada masyarakat Tiongkok, sekaligus memperkuat kerja sama antar-media dalam tukar informasi apa yang ada di negara masing-masing.
Dalam kesempatan itu, wartawan yang berasal dari Provinsi Fujian itu menyatakan senang dengan kedatangan wartawan Bali ke provinsi kelahirannya (Fujian), sehingga mereka "tahu sendiri" adanya prasasti kedatangan Islam di Tiongkok.
"Saya senang, karena saya dari Fujian dan saya juga yang menemukan prasasti kedatangan pemuka agama Islam di Tiongkok hingga akhirnya masuk museum dan mulai dikenal masyarakat dunia," katanya.
Sekali melihat
Senada dengan itu, Kepala "China Radio International" (CRI) Biro Indonesia, Li Shukun, menyatakan sepakat dengan kerja sama antar-wartawan, karena pihaknya sudah sering melakukan peliputan bersama dengan wartawan Indonesia ke berbagai kawasan di China sejak tahun 2010, sehingga apa saja tentang Tiongkok dapat dilaporkan sesuai fakta yang sebenarnya.
"Tahun 2010-2013, CRI sempat mengadakan siaran bersama dengan Radio Elshinta. Tahun 2011-2015, CRI sempat melakukan peliputan bersama wartawan Indonesia tentang budaya Muslim di China. Tahun 2015-2017, kami melakukan peliputan bersama tentang Jalur Sutera Maritim. Tahun ini, kami senang sejumlah konsulat memfasilitasi wartawan Indonesia ke Tiongkok," katanya.
Dalam pertemuan itu, Konsul Jenderal RRT di Denpasar Gou Haodong mempertegas pepatah China dari Zhao Chong (Dinasti Han Barat) yang dikutip Kepala Biro LKBN Antara Bali Edy M Yakub bahwa "sekali melihat (sendiri) lebih baik daripada seratus kali mendengar (dari orang lain)".
"Selama tiga bulan bertugas di Bali, teman saya paling banyak dari media. Dari mereka saya tahu bahwa Indonesia-Tiongkok itu banyak kemiripan, namun pemahaman diantara keduanya belum cukup mendalam," katanya.
Oleh karena itu, ia pun mengajak sepuluh media di Bali untuk datang ke Tiongkok, karena pengalamannya bertugas di Afrika Selatan selama belasan tahun menunjukkan persahabatan antar-negara itu sangat bergantung pada persahabatan antar-rakyat. "Setelah tahu, ternyata mereka pun tahu bahwa Tiongkok itu jauh dari apa yang menjadi bayangannya selama ini, seperti diceritakan Pak Edy dari Antara. Di sini ada pepatah, yakni jauh dimata, dekat dihati," katanya.
Dalam acara yang juga diakhiri dengan makan malam itu, Kepala Stasiun TVRI Bali M Syifa menyatakan kekaguman terhadap sosok orang-orang Tiongkok. "Terlepas dari nada bicara yang agak keras, sosok orang Tiongkok itu sebenarnya mengagumkan, karena cara mereka melayani tamu sangat luar biasa. Saya kira, orang Bali harus belajar kepada Tiongkok dalam melayani tamu, meski pemandangan alam disini sudah bagus. Mereka juga menata kota dengan asri dan sejuk melalui hutan kota dimana-mana," katanya.
Sementara itu, Edy M Yakub dari LKBN Antara Biro Bali menyebutkan tiga pandangan "sebelum" ke Tiongkok yakni komunis atau tak ber-Tuhan, otoriter dengan melarang media sosial, dan tidak demokratis dengan membatasi informasi media. "Tapi, "setelah" dari Tiongkok, saya menemukan di Tiongkok banyak tempat ibadah, jadi komunis itu hanya sistem politik. Soal medsos hanya memakai WeChat dan bukan whatsapp, facebook, twitter, line, youtube, instagram, dan sebagainya itu bukan otoriter, tapi untuk pemberdayaan potensi dalam negeri. Soal tidak demokratis itu ternyata media Tiongkok tetap bisa mengkritik, tapi caranya bersifat demokrasi ala Timur yang mengacu pada aturan main," kata Edy.
Menanggapi pertanyaan Ketua PWI Bali IGMB Dwikora Putra tentang "kebebasan pers" di RRT, Konsul RRT di Denpasar Gou Haodong menegaskan bahwa informasi positif dan negatif itu cukup banyak, namun wartawan selalu berpegang pada dua prinsip yakni fakta dan keseimbangan. "Wartawan memang memiliki kebebasan dan bebas melakukan kritik, namun wartawan harus bertanggung jawab. Di Afrika Selatan ada negara kaya yang akhirnya miskin akibat pemberitaan negatif terhadap pemerintah, padahal pemimpinnya dipilih rakyat," katanya.
Oleh karena itu, kata diplomat yang sangat dekat dengan media itu, wartawan harus menggunakan kebebasan yang dimiliki dengan tanggung jawab dan sikap yang profesional, sehingga hoax, fitnah, dan sejenisnya dapat dihindari untuk menjaga fakta itu sendiri agar tetap berimbang, faktual, profesional, dan bertanggung jawab. (lhs)
Baca juga: "sekali melihat (Tiongkok) lebih baik daripada mendengar" (video)
Baca juga: Konjen RRT Denpasar ingin tingkatkan hubungan antarmasyarakat
Baca juga: Konjen RRT kagumi masyarakat Bali menjaga budaya
Baca juga: Belasan wartawan-humas DPRD Jambi "serbu" Antara Bali
Hyperlink : https://www.obortimes.net/language/id/berita/
Baca Juga: Video Tentang ANTARA Biro Bali
Baca juga: Konjen RRT Denpasar bantah kamp pengasingan muslim Uighur
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018