Jakarta (Antara Bali) - Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menolak
untuk menjalankan perintah Pansus Hak Angket KPK yang menginginkan Polri
membawa Miryam S. Haryani yang merupakan tersangka dalam kasus dugaan
pemberian keterangan palsu pada sidang kasus korupsi e-KTP, dari Rutan
KPK ke DPR.
Sesuai peraturan dalam KUHP, upaya paksa penangkapan hanya bisa dilakukan untuk keperluan peradilan, katanya di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Selasa malam.
"Acara selama ini di Polri adalah acara KUHP, KUHP itu upaya paksa penangkapan apalagi penyanderaan, penyanderaan sama saja dengan penahanan itu acaranya harus pro justicia dalam artinya dalam rangka untuk peradilan," kata Tito.
Menurutnya permintaan DPR untuk menghadirkan Miryam tidak jelas tercantum dalam UU MD3. "Acara MD3 itu tidak jelas bentuknya, apakah surat perintah penangkapan atau apa, apa surat perintah membawa paksa atau apa. Kalau penyanderaan apakah ada surat perintah penyanderaan. Nah ini yang belum jelas karena dalam bahasa hukum kami tidak ada," paparnya.
Pihaknya menyatakan akan membahas aspek hukum terkait permintaan tersebut dengan Komisi III DPR. Selain itu pihaknya juga berencana meminta interpretasi dari Mahkamah Agung. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Sesuai peraturan dalam KUHP, upaya paksa penangkapan hanya bisa dilakukan untuk keperluan peradilan, katanya di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Selasa malam.
"Acara selama ini di Polri adalah acara KUHP, KUHP itu upaya paksa penangkapan apalagi penyanderaan, penyanderaan sama saja dengan penahanan itu acaranya harus pro justicia dalam artinya dalam rangka untuk peradilan," kata Tito.
Menurutnya permintaan DPR untuk menghadirkan Miryam tidak jelas tercantum dalam UU MD3. "Acara MD3 itu tidak jelas bentuknya, apakah surat perintah penangkapan atau apa, apa surat perintah membawa paksa atau apa. Kalau penyanderaan apakah ada surat perintah penyanderaan. Nah ini yang belum jelas karena dalam bahasa hukum kami tidak ada," paparnya.
Pihaknya menyatakan akan membahas aspek hukum terkait permintaan tersebut dengan Komisi III DPR. Selain itu pihaknya juga berencana meminta interpretasi dari Mahkamah Agung. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017