Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Mengubah pola hidup, belajar dari sore hingga pagi hari, selama 12 jam dalam sehari merupakan satu-satunya jalan terbaik, sebab di siang hari penuh dengan tantangan. Betapa tidak, di siang hari mata serta telinganya hanya akan dipenuhi dengan pemandangan serta suara-suara mesra pasangan-pasangan kekasih yang sedang bermanja-manjaan sambil berjemur di lingkungan kampus.

"Luas kampusnya yang berhektar-hektar, memungkinkan banyak tempat yang bisa dipakai untuk berpacaran. Itu agak mengganggu saya. Sampai akhirnya saya merubah waktu belajar. Jadi dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi saya intensif belajar di kampus. Browsing sumber bacaan atau searching apapun yang berkaitan dengan kuliah. Di salah satu ruangan yang telah disediakan. Saya baru tidur itu dari jam 7 pagi sampai 12 siang. Bangun dari tidur, saya langsung nonton TV dan membaca koran. Membaca koran itu sangat penting, supaya tahu perkembangan terbaru yang terjadi di Indonesia, khususnya Bali. Setelah itu, pukul 16.00 saya pulang ke apartemen. Pukul 16.00 sudah kembali berada di kampus untuk belajar. Bisa dibilang, hidup saya sudah seperti kelelawar."

Sri Darma tidak pernah bosan hidup bagaikan kelelawar. Namun itu bukan berarti selama setengah hari penuh ia berada di ruangan belajarnya. Secara manusiawi, pasti ada selingannya sejenak. Biasanya pada pukul 22.00, Sri Darma dan International student lainnya melakukan hal yang sama, masuk ke common room untuk memasak mie instant. Sekedar untuk mengganjal perut yang kosong di malam hari. Pola hidup seperti ini, lama kelamaan mulai terasa menyatu dengan dirinya.

Pola hidup yang sesungguhnya menyimpang itu bisa menyatu dengan dirinya, karena adanya keinginan untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Namun pada puncak-puncak kegigihannya itu, tiba-tiba dia menerima kabar buruk. Tanpa pernah terbayang sebelumnya, pihak Undiknas menghentikan biaya kuliahnya. Itu adalah akibat dari krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, antara tahun 1997-1998. Kurs dollar terhadap rupiah melonjak drastis. Semula satu dollar Amerika hanya bernilai 1.800 rupiah lantas secara drastis naik dan baru stabil pada 12 ribu rupiah.

Penghentian bantuan dana itu, membuat Sri Darma merasakan betapa susahnya bersekolah dan hidup di Australia. Tidak ada jalan lain, Sri Darma pun terpaksa pulang ke Bali. Kebetulan saat itu adik laki-lakinya akan melangsungkan pernikahan. Jadi, tidak begitu kelihatan kepulangannya karena disebabkan faktor penghentian dana beasiswa dari pihak Undiknas. Pada saat yang tepat, Sri Darma mendiskusikan nasib kuliahnya dengan sang ayah.

"Kalau begini terus, bisa-bisa Dek tidak lulus. Krisis ini pasti akan lama berakhirnya," kata Sri Darma.

"Kalau begitu, Dek berangkat saja lagi ke Australia. Bapak akan menalangi sisa biaya kuliahnya. Tapi kalau bisa, Dek sambil kerja saja di sana untuk tambah-tambah uang," ucap ayahnya. (Sang ayah yang mendanai biaya kuliah Sri Darma hingga menamatkan pendidikannya di Australia. Ketika sudah lulus dari Australia, barulah pihak Undiknas kembali bisa melanjutkan pembayaran kuliah Sri Darma dengan cara melakukan pembayaran secara mencicil pada Sambereg. Karena kondisi ekonomi Indonesia sedang mengalami ketidakstabilan. Harga dollar melambung tinggi. Ketika itu Undiknas juga masih memiliki banyak tanggung jawab yang harus diselesaikan terkait dengan keuangan.)

Saran dari sang ayah dicerna dengan sangat baik oleh Sri Darma. Dia ingin mengumpulkan uang untuk bisa menambah biaya hidup selama tinggal di Australia. Apa yang bisa dilakukan di negara orang untuk mencari uang? Memang tak banyak yang bisa dilakukan oleh Sri Darma. Awalnya dia memutuskan untuk menjual pernak-pernik khas Bali di Sunday Market.

"Saat pulang ke Bali, saya menyempatkan diri pergi ke pasar Seni Sukawati untuk membeli banyak barang. Ada tas, baju-baju barong, kipas, patung garuda dan cenderamata khas Bali lainnya. Semua barang itu saya bawa dari Bali. Lalu saya jualin di Sunday Market."

Tak banyak keuntungan yang diperoleh Sri Darma dari barang dagangannya itu. Bahkan bisa dibilang merugi. Tak ada satu pun baju barong yang terjual. Terang saja tak laku, mana ada yang mau membeli baju berbahan kain sangat tipis di saat Australia tengah dilanda musim dingin. Agar tidak merugi, dia membawa barang dagangannya ke salah satu tempat untuk dijual sekalipun dengan harga yang murah, asal bisa balik modal saja.

Kegagalan itu memaksa Sri Darma untuk berpikir ulang, mencari pekerjaan lain yang bisa memberinya uang tambahan. Lantas muncul ide untuk mencari kerja sampingan. Namun tidak mudah untuk mewujudkannya. Artinya cukup sulit mencari kerja sampingan di Australia, sebab hampir semua lowongan sudah diisi oleh para mahasiswa dari Asia Tenggara yang memang dikenal suka kuliah sambil bekerja.

Pekerjaan yang paling diminati adalah sebagai pencuci piring di restoran. Namun lowongan untuk pekerjaan yang paling mudah ini sudah tidak tersisa lagi. Padahal Sri Darma inginnya mengambil pekerjaan itu. Mau tak mau dia mencari pekerjaan lain, dan akhirnya masuk ke bidang perkebunan. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kacang Macadamia siap menerimanya sebagai pekerja. Kacang ini dihasilkan dari biji bunga pohon Macadamia. Kulitnya berwarna gelap dan cukup tebal. Dibituhkan sebuah alat khusus untuk bisa memecahkan kulitnya.

Sri Darma tidak ditugasi untuk memecahkan kulitnya, melainkan hanya memunguti kacang Macadamia yang sudah terjatuh dari atas pohon. Terdengar mudah, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Begitu jatuh ke tanah, kacang ini telah bercampur dengan sampah-sampah lainnya. Inilah yang membuat orang lokal enggan mengambil pekerjaan itu, sehingga jatuh ke tangan orang-orang Asia yang sedang butuh uang tambahan.

"Karena kacang ini bercampur dengan sampah, jadi saya harus memilah-milahnya terlebih dulu. Mana kacang dan mana sampah. Kacang yang sudah terpisah dari sampah, lantas dimasukin ke dalam ember. Satu ember, saya dibayar 2 dollar Australia."

Dua dollar sepintas kelihatannya sedikit, namun jika bisa mengambil beberapa ember tentu nilainya bisa lumayan besar pula. Paling tidak harus ada 40 ember kacang mesti dikumpulkan dalam sehari dari pukul 05.00 sampai 17.00. Itu harus dikerjakan sekalipun Australia memasuki musim dingin. Karena terlalu sering merunduk saat memungut kacang, pada awalnya Sri Darma sempat sakit pinggang. Namun lama kelamaan dia jadi terbiasa dan bahkan semakin bersemangat mengejar target. Sebab dari 40 ember, dia akan mengantongi 80 dollar Amerika. Jika bekerja selama 3 hari saja, maka sudah 240 dollar yang masuk ke sakunya. Jumlah itu sudah mencukupi untuk biaya makan. Dan dia bangga bisa menghasilkan uang sebesar itu.

Namun setelah seminggu berlalu, barulah dia merasa ada yang tidak beres dengan gaji yang diterimanya. Uang yang diterima oleh orang Asia ternyata 2 dollar lebih rendah ketimbang orang lokal. Inilah yang membuat Sri Darma dan pekerja lainnya asal Indonesia, antara lain Agus Din dan Hermanto kompak "mengerjai" pengawas perkebunan. Bagian bawah ember diisi sampah secukupnya, lantas ditimbun dengan kacang Macadamia.

Trik itu dilakukan sangar rapi, sehingga tidak sampai ketahuan oleh pengawas perkebunan. Semuanya berjalan mulus sampai akhirnya Sri Darma berhenti bekerja di perusahaan tersebut.

"Ada sekitar 5 bulan saya bekerja di perkebunan kacang Macadamia itu. Tapi itu kan tidak setiap hari, karena saya juga harus fokus menyelesaikan kuliah. Ditambah pula harus bimbingan dengan promotor. Kerja sambilan ini juga bisa mengurangi stres saya dalam kuliah. Kalau saya lagi stres, lebih baik saya pergi ke perkebunan, kerja dan dapat uang. Sebenarnya ada alasan lain yang membuat saya ingin bekerja adalah karena pengaruh lingkungan. Semua orang Indonesia, Thailand, dan Singapura melakukan pekerjaan seperti itu. Masak saya sendiri yang tidak melakukannya. Akhirnya saya ikut kerja."

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017