Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Rasa malu tersebut masih terbawa ketika pesawat mendarat mulus di Melbourne Airport. Namun ketika menuruni tangga pesawat, kesadarannya sudah pulih kembali. Dia pun berbicara dengan seorang petugas bandara untuk menanyakan lokasi meeting point. Ini sesuai dengan arahan Ketut Nehen, supaya begitu tiba di bandara kedatangan, Sri Darma harus langsung menuju ke arahnya dan Sri Darma melangkah ke arah yang ditunjuk.

Sambil melangkah, Sri Darma bertanya-tanya dalam hati, apa dimaksudkan dengan meeting point. Dari makna kata, dia sudah tahu artinya, titik pertemuan, namun tidak mengetahui alasannya, kenapa dia harus pergi ke sana.

"Tidak terbayang sedikitpun di benak saya, bagaimana model meeting point itu." Sri Darma pun tiba di lokasi meeting point. Cukup lama dia menunggu seperti orang yang sedang kebingungan, sampai tiba-tiba ada seorang laki-laki bule yang menghampirinya.

"Excuse me, I asked you, are you Mr. Darma?"
"Yes, Sir, I am Darma."
"I am a person who is assigned to pick you up and deliver you to the hostel."
"Yes thank you very much."

Rupanya bule itu ditugaskan untuk menjemput Sri Darma di bandara dan mengantarkannya menuju ke homestay, yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh Ketut Nehen. Sri Darma pun jadi tahu kenapa dia harus ke meeting point begitu tiba di bandara kedatangan. Rupanya, itu karena harus bertemu dengan orang yang akan mengantarkannya menuju tempat tinggal selama berada di Australia.

Saat menuju ke tempat parkir mobil, Sri Darma mulai merasakan dinginnya cuaca Australia, yang katanya sudah minus sekian derajat.  Dia harus bertahan, karena tidak mengenakan pakaian khusus musim dingin, padahal Ketut Nehen sudah mengingatkan di Australia sedang musim dingin. Namun dia tidak pernah membayangkan dinginnya akan membuat tubuhnya sampai menggigil seperti itu.

"Saya tahu kalau di Australia sedang musim dingin. Tapi namanya juga anak muda, ya saya tak terlalu hirau akan hal itu. Bahkan saya meremehkannya. Menganggap kalau dinginnya sama seperti saat memakai AC. Tapi anggapan saya itu salah. Ternyata di sana dingin sekali."

Begitu tiba di tempat tujuan, sang penjemput langsung pergi meninggalkan Sri Darma yang sedang bercakap-cakap dengan pemilik homestay. Si pemilik homestay merasa kasihan melihat Sri Darma menggigil kedinginan. Dia pun diajak membeli jaket hangat. Sri Darma meminta supaya diantarkan membeli jaket hangat yang murah saja. Si pemilik rumah lantas mengajaknya ke sebuah pasar, Queen Victoria Market di Melbourne.

Queen Victoria Market terkenal sebagai tempat penjualan beraneka barang dengan harga murah. Tidak sedikit pun ada rasa malu membeli jaket di pasar, segala pengeluaran harus dihitung cermat. Dompetnya hanya berisi 1000 Dolar Australia, jika memaksakan diri berbelanja di toko atau mall besar, dia harus rela mengeluarkan uang di atas 100 Dolar Australia hanya untuk memperoleh sebuah jaket hangat.

Lagi pula Sri Darma hanya membawa uang secukupnya saat pergi ke pasar, tidak mencapai 100 Dolar Australia. Sisanya, sudah disimpan di bank. Rupanya sebelum pergi ke pasar, si pemilik homestay lebih dulu mengajaknya pergi ke bank. Itu karena dia tahu kalau Sri Darma membawa uang cash yang tentunya sangat berbahaya, bisa hilang atau dicuri orang.

Si pemilik homestay hanya mengantarkan Sri Darma ke bank. Dia tidak ikut masuk ke ruang transaksi, melainkan hanya menunggu di luar.

"Bayangkan, saya dilepas begitu saja. Jadinya, saya terpaksa membuka rekening. Saya kan tidak punya kosakata untuk perbankan. Selama ikut kursus, saya hanya diajarkan bahasa Inggris yang terkait dengan akademik. Jadinya bingung, apa yang nantinya harus saya katakan pada pegawai bank."

Di tengah-tengah kebingungannya, Sri Darma berusaha tenang. Sembari menunggu giliran, dia mencoba mengenali situasi sekitarnya dan mengamati setiap pembicaraan yang terjadi antara nasabah dengan petugas bank. Cara ini terbilang ampuh. Begitu tiba gilirannya bertatap muka dengan petugas bank, dia sudah tahu apa yang harus diucapkan. Jadilah Sri Darma memiliki sebuah rekening pribadi di salah satu bank di Australia. Dilengkapi pula dengan sebuah kartu ATM untuk memudahkannya melakukan transaksi.

Lebih dari itu, si pemilik homestay juga mengajari Sri Darma cara-cara memanfaatkan fasilitas transportasi umum Melbourne, seperti kereta api, bus, dan trem. Dia diperkenalkan dengan makanan khas orang barat. Namun dia tidak bisa langsung menikmatinya, perlu menyesuaikan diri terlebih dahulu, sebab apapun yang dimakan pada awalnya terasa hambar.

"Biasanya saya makan nasi, tapi semenjak di Melbourne sama sekali nggak makan nasi. Pernah saat di homestay, saya diberi makan sejenis bubur, tapi sama sekali nggak ada rasanya. Hambar. Meski tidak begitu suka dengan jenis makanannya, tapi saya tidak pernah sampai melewatkan untuk makan. Kalau nggak makan, nanti saya nggak bisa berpikir. Jadi tidak mungkin saya menyerah hanya karena makanan."

Berjuang mengkonsumsi makanan orang-orang Barat, bukan merupakan satu-satunya hal yang harus dilewati oleh Sri Darma selama di Melbourne, Australia. Termasuk pula mandi di pagi buta.

"Orang-orang yang tinggal di homestay cukup banyak, sedangkan kamar mandinya terbatas. Jadi kami berebutan untuk mandi. Karena tidak ingin berebut, makanya saya sengaja bangun pukul 04.00, supaya bisa mandi duluan. Luar biasa dinginnya, karena air panas di homestay dimatikan. Bisa dibayangkan, saya mandi pagi-pagi buta saat musim dingin tanpa air hangat."

Rupanya Sri Darma sedang melanjutkan kebiasannya di Bali, mandi dua kali sehari. Suatu hal yang berbeda dengan tradisi Barat, sebab di musim dingin mereka hanya cukup memakai minyak wangi. Lagi pula kalau terlalu sering mandi pagi, pada malam hari akan terus menerus buang air kecil, pipis, kecuali jika dibarengi dengan minum wine, anggur. Namun Sri Darma belum mempelajari tradisi lokal seperti itu, sebab alam pikiran Bali telah membentuk kebiasaan pada dirinya, harus mandi pagi kalau melakukan aktivitas di luar rumah.

Jika tidak mandi sebelum melakukan aktivitas di luar rumah, sepertinya semua orang yang berada di sekitarnya akan merasa terganggu dan menoleh padanya. Sri Darma tidak ingin seperti itu, apalagi nantinya dia harus masuk dalam suatu ruangan di Melbourne University untuk mengikuti kursus bahasa Inggris.

Kursus bahasa Inggris merupakan langkah awal yang harus dikerjakan Sri Darma sebelum memulai kuliah di Southern Cross University. Tersedia waktu tiga bulan baginya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, lisan maupun tulis di kampus ini. Ini merupakan suatu hal yang umum bagi mahasiswa yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris. Sebab tanpa mengikuti kursus, mereka akan kelabakan saat mengikuti perkuliahan yang sebenarnya. Ketut Nehen jauh-jauh hari sudah menjelaskan perihal itu.

"Dek, kamu kursus bahasa Inggris langsung di Australia!!"
"Kenapa saya harus kursus lagi Pak?" tanya Sri Darma.
"Ya. supaya telinga dan lidahnya Dek terbiasa seperti orang-orang di sana."

Sri Darma mengikuti saran mentornya itu. Jadilah dia sebagai peserta kursus yang paling berumur, alias tua di antara barisan anak-anak muda di sekitarnya. Namun itu tidak pernah dipersoalkan. Tidak ada istilahnya terlambat dalam belajar. Dia berusaha menikmatinya, sekalipun pada awalnya sempat merasa tidak senang bahkan bercampur marah pada Ketut Nehen yang menyuruhnya pergi ke Melbourne hanya untuk mengikuti kursus baha Inggris, dalam waktu yang relatif lama. Barulah di kemudian hari dia mengetahui arti dari saran Ketut Nehen yang sebenarnya.

"Setelah dipikir-pikir, ternyata ada tujuannya kenapa Pak Nehen menyuruh saya ikut kursus bahasa Inggris di Melbourne. Selama mengikuti kursus, wawasan saya tentang budaya Barat, khususnya Australia jadi bertambah. Saya belajar cara-cara beradaptasi dengan orang-orang Australia. Saya juga banyak punya teman dari berbagai negara. Ini semakin menambah wawasan saya tentang negara lain."

Setelah menyadari banyaknya manfaat yang diperoleh selama mengikuti kursus bahasa Inggris di Melbourne University, Sri Darma pun mengucapkan terima kasih kepada Ketut Nehen, ketika akhirnya dia bertemu lagi di Bali.

"Untung sekali Bapak menyuruh saya kursus bahasa Inggris di Melbourne University. Sebab kalau saya langsung pergi ke kampus Southern Cross University, pastilah saya tidak akan memiliki pengetahuan tentang budaya setempat."

"Bapak sudah tahu itu, itu karena Dek kan belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Jadi paling tidak butuh tiga bulan tinggal di Australia untuk bisa mengetahui kondisi setempat." (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017