Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Lokasinya memang strategis, relatif dekat dengan kampus MM UGM. Terdapat pula toko-toko dan rumah makan yang terbentang di pinggir jalan, hanya saja lingkungan sekitar relatif jadi kotor. Sampai mengganggu kebersihan wajah Sri Darma, menjadi tidak hanya kotor, tetapi juga banyak jerawat. Sri Darma segera mencari tempat tinggal di lingkungan yang lebih bersih. Pilihannya jatuh di daerah Pogung. Selain lebih dekat dengan kampus MM UGM, udaranya lebih bersih dari Gejayan, karena letaknya relatif jauh dari pinggir jalan raya. Selain udara, keadaan air sumurnya juga lebih bersih.

Tinggal di Pogung membuat Sri Darma lebih bisa berkonsentrasi dalam mengikuti perkuliahan. Jadinya, dia pun semakin menemukan arti sesungguhnya dari sebuah perkuliahan. Dosen-dosennya begitu disiplin. Ditambah lagi cara pengajarannya yang jauh berbeda dari yang pernah dirasakannya saat kuliah di Universitas Udayana. Salah satunya, secara tidak langsung dosen memaksanya untuk rajin membaca dan meresensi buku-buku baru yang tiada hentinya. Bukunya tidak semua berbahasa Indonesia, bahkan kebanyakan berbahasa Inggris.

Sri Darma terkejut, dia yang sebelumnya tak terbiasa membaca berlama-lama, apalagi buku berbahasa Inggris, terpaksa harus segera berbenah diri. Kebiasaan serba molor serba malas, saat di Teknik Elektro Universitas Udayana harus dihilangkan.

"Saya dulu cukup rajin membeli buku, bahkan setiap enam bulan sekali pergi ke Malang untuk membeli buku sambil menengok adik. Tapi karena di fakultas teknik modal utamanya ya menggambar. Entah menggambar instalansi listrik ataupun mesin-mesin listrik, maka jadinya saya lebih banyak menggambar daripada membaca," ujar Sri Darma.

Jika Teknik Elektro masih bisa mentolerir kebiasaan Sri Darma lebih gemar menggambar ketimbang membaca, tapi di MM-UGM, dia harus lebih banyak membaca ketimbang menggambar. Para dosen juga selalu mengingatkan, seorang mahasiswa S-2 harus lebih mengutamakan membaca ketimbang yang lain. Dengan rajin membaca, maka akan semakin banyak ilmu pengetahuan yang tersimpan di otak, sehingga sangat memudahkan dalam membuat karya ilmiah.

"Tanpa pernah membaca, maka kita akan jadi orang yang bodoh. Walaupun sekarang kita punya magister, tapi kalau ilmu pengetahuannya tidak pernah dicari dengan cara membaca, ya tetap saja bukan seorang magister," kata salah seorang dosen MM UGM, dalam suatu perkuliahan.

Motivasi yang disampaikan oleh dosen itu merangsang minat Sri Darma untuk terus membaca. Membaca pun akhirnya menjadi bagaikan candu yang membuat Sri Darma merasa terus ketagihan. Itu terbukti dari semakin meningkatnya angka minus matanya. Dari semula hanya seperempat hingga mencapai satu. Namun itu tidak jadi soal sebab ada kawannya yang jauh lebih tinggi, sudah mencapai angka sembilan dan sepuluh.

Lagi pula membaca dan memahami buku-buku ekonomi dan manajemen merupakan suatu keharusan bagi mahasiswa MM UGM.

"Ilmu Ekonomi dan Manajemen memang modalnya hanya membaca karena termasuk ilmu sosial. Bukan lagi seperti ilmu teknik yang lebih banyak menganalisis. Itulah sebabnya saya senang membaca. Jika buku sudah menyangkut ekonomi dan manajemen, pastilah saya baca," ucap Sri Darma.

Sri Darma memang harus rajin membaca buku-buku tentang ekonomi dan manajemen, sebab jika tidak akan sulit untuk bisa lulus. Para dosen MM UGM dikenal tidak mau sembarangan mengeluarkan nilai. Nilai yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki mahasiswa. Semakin pintar mahasiswa, maka besar pula nilai yang didapat. Begitu pula sebaliknya. Kalau mahasiswa bodoh, maka jangan harap mendapat nilai bagus. Aturan yang ketat itu memang terkesan menakutkan, namun tidak sampai membuat Sri Darma gentar. Justru semakin memacu prestasi belajarnya.

Aturan yang tegas seperti ada hikmah positifnya juga, setidaknya pada diri Sri Darma. Itu membuatnya semakin semangat mencari buku. Namun tidak semua buku yang akan dicari harus dibeli, sebab ada yang cukup hanya dengan cara meminjamnya di perpustakaan tingkat fakultas maupun tingkat universitas. Dengan bertemunya semangat belajar dan fasilitas peminjam buku, maka Sri Darma semakin menyadari betapa enaknya kuliah di UGM. Andaikan sejak di S-1 sudah bisa masuk di UGM, tentu akan lebih enak lagi. Sri Darma pun bersyukur kepada Tuhan, bahwa bisa menjadi salah satu mahasiswa di kampus biru ini. Suatu hal yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang di Indonesia.

"Di MM UGM baru saya merasa mendapatkan ilmu, khususnya ilmu manajemen dari para dosen. Karena itu saya sangat berterima kasih dan bersyukur bisa kuliah di MM UGM," ujar Sri Darma.

Tidak cukup hanya berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan, Sri Darma memanfaatkan kesempatan yang diperolehnya itu dengan cara membuat karya ilmiah sebaik dan secepat mungkin. Sampai akhirnya dia mampu menyelesaikan studi dalam kurun waktu yang relatif singkat, hanya tiga belas bulan. Bulan Mei 1995 dia pun mengikuti acara pelantikan wisudawan serta wisudawati UGM, secara resmi dia menyandang gelar Magister Manajemen dengan IPK 3,63.

Selepas wisuda, ayahnya meminta supaya Sri Darma segera pulang ke Bali.

"Dek, kamu harus pulang ke Bali," kata sang ayah pada Sri Darma. Permintaan itu diamini saja, meskipun sedikit bertentangan dengan nalurinya yang masih sangat ingin tinggal di Yogyakarta. Sekitar tiga bulan lagi untuk melanjutkan kursus Bahasa Inggris yang sedang berlangsung. Tapi permintaan sang ayah tidak boleh diabaikan begitu saja, sebab pasti ada alasan untuk memintanya buru-buru pulang ke Bali.

Mengajar di Undiknas

Rupanya alasan sang ayah meminta Sri Darma bergegas untuk pulang ke Bali adalah untuk sesegera mungkin mengajar. Namun belum jelas di universitas mana dia akan mengajar. Itu tergantung dari daerah mana dia akan ditempatkan; Bali, NTB, atau NTT. Karena berstatus sebagai PNS yang ditugaskan di Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VIII Bali Nusra, maka nasibnya sangat ditentukan oleh ketua lembaga tersebut. Dia tidak bisa menentukan pilihan sendiri. Semuanya ditentukan oleh kebutuhan di masing-masing daerah. Ternyata Sri Darma ditempatkan di daerah Bali, tepatnya di Undiknas.

Penempatan Sri Darma di Undiknas, tidak terlepas dari campur tangan ayahnya. Sang ayah yang ketika itu memangku jabatan sebagai Rektor Undiknas, meminta pada pihak terkait di Jakarta supaya menempatkan Sri Darma di kampusnya. Permintaan itu dikabulkan. Sri Darma pun akhirnya melengkapi barisan nama dosen yang mengajar di Undiknas, universitas yang didirikan oleh sang ayah dan seorang temannya, Gorda. Alasan yang dikemukakan oleh sang ayah kepada para pejabat di Jakarta adalah jumlah mahasiswa baru Undiknas terus bertambah, sehingga rasio antara mahasiswa dan dosen menjadi tidak seimbang.

Sambereg selaku Rektor Undiknas, tidak melebih-lebihkan, sebab seperti diceritakan pada bagian lain, pada masa kepemimpinannya, jumlah mahasiswa membludak. Ini disebabkan oleh begitu sulitnya diterima sebagai mahasiswa di Universitas Udayana. Karena itu, cukup banyak orang yang beralih ke Undiknas. Sebagai reaksi atas fenomena tersebut, Rektor Undiknas tidak mau kalau hanya sekedar mempunyai mahasiswa, melainkan mahasiswa yang benar-benar mau kuliah sebagaimana mestinya. Selaku rektor, Sambereg telah memenuhi janji itu dengan cara meningkatkan kualitas dosen-dosen Undiknas, melalui tugas belajar ke universitas-universitas besar di Jawa seperti sudah disebutkan pada bagian lain.

Pengadaan program tugas mengajar itu, juga untuk menjadikan dosen Undiknas sebagai tenaga pengajar yang profesional. Namun seprofesional apapun mereka, tetap saja kewalahan mengajar mahasiswa yang berjumlah ratusan. Karena dibutuhkan peran para asisten dosen untuk kelancaran perkuliahan. Peran ini dipercayakan pada sosok Sri Darma.

Sri Darma memang sengaja diposisikan sebagai asisten dosen, karena dia baru saja lulus S-2 dan belum memiliki pengalaman mengajar. Karena itu, sesuai aturan dia belum diizinkan mengampu mata kuliah, alias menjadi dosen. Sekalipun demikian, Sri Darma bukanlah sembarang asisten dosen, yang hanya dijadikan sebagai pelengkap. Sebab pada kenyataannya cukup banyak dosen, terutama yang lulusan S-1 membutuhkan bantuan tenaga serta ilmu pengetahuannya, terutama terlihat jelas di Fakultas Ekonomi. Karena itu kesannya, Sri Darma bukanlah asisten dosen, melainkan dosen kedua untuk satu mata kuliah. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017