Denpasar (Antara Bali) - Ketua Komisi VI DPRD Bali Nyoman Parta menyayangkan sejumlah rumah sakit menolak pasien yang menggunakan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
"Pihak rumah sakit (RS) seharusnya tidak boleh menolak pasien KIS, sama halnya dengan pasien menggunakan BPJS. Seharusnya ketika melakukan nota kesepahaman (MoU) ditandatangani antara BPJS dan rumah sakit, urusan hak pasien sudah tidak masalah ketika mereka berobat," katanya di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan, RS semestinya sudah tahu dengan pasien menunjukan kartu tersebut mengenai hak untuk mendapatkan pelayanan.
"Sudah tahu pasien pengguna kartu KIS atau BPJS `ngapain` dikondisikan ke umum (menjadi pasien umum). Justru ini yang terjadi di masyarakat saat ini," kata politikus PDIP.
KIS merupakan program yang diluncurkan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menggratiskan biaya kesehatan bagi masyarakat tidak mampu. Salah satu perbedaannya dengan BPJS, peserta KIS tidak dipungut iuran.
Jika pasien KIS berada dalam kondisi darurat, RS wajib melayaninya tanpa harus ada surat rujukan.
Parta mengaku mendapat laporan dari warga atas nama Pasien Gede Suka Sudan nomor kartu 0000820671344, asal Banjar Telabah Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar pasien kecelakaan tunggal, sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit Ari Canti. KIS dinyatakan tidak berlaku dan pasien disarankan ke umum.
Ia mengatakan, semestinya pihak rumah sakit harus mendahulukan penyelamatan nyawa orang. Tidak harus dengan cara menyodorkan biaya seperti itu. Ini harus ke depannya pemerintah mempertagas mengenai pelayanan dari rumah sakit tersebut.
Kronologisnya, pasien asal Banjar Telabah Desa Sukawati, Gianyar ini membutuhkan operasi secepatnya di Unit Gawat Darurat (UGD) karena menjadi korban kecelakaan tunggal. Pihak RS bersedia melayaninya dengan status sebagai pasien umum.
Pasien harus membayar Rp10 Juta di muka untuk bisa ditangani oleh pihak RS.
Keluarga pasien, Wayan Catra, mengakui ia harus membayar Rp10 Juta agar Gede Suka Sudan bisa dioperasi (tindakan medis) di ruang ICU RS Ari Canti.
Dijelaskannya, saat mengantar pasien yang merupakan keponakannya, dia menyerahkan KIS saat pendaftaran. Ia kemudian disodorkan berkas untuk ditandanganinya. Ia kemudian diminta ke bagian kasir untuk membayar Rp10 Juta.
Catra yang mengaku sebagai petani ini mengakui dirinya tidak mengetahui prosedur penggunaan KIS. Ia menjalankan "perintah" pihak RS. Yang ada dalam pikirannya bagaimana keponakannya itu bisa tertolong.
"Setelah selebaran saya tandatangani, saya disuruh ke kasir bayar deposit (DP) selama 1x24 jam. Saya bayar DP Rp10 Juta," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Pihak rumah sakit (RS) seharusnya tidak boleh menolak pasien KIS, sama halnya dengan pasien menggunakan BPJS. Seharusnya ketika melakukan nota kesepahaman (MoU) ditandatangani antara BPJS dan rumah sakit, urusan hak pasien sudah tidak masalah ketika mereka berobat," katanya di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan, RS semestinya sudah tahu dengan pasien menunjukan kartu tersebut mengenai hak untuk mendapatkan pelayanan.
"Sudah tahu pasien pengguna kartu KIS atau BPJS `ngapain` dikondisikan ke umum (menjadi pasien umum). Justru ini yang terjadi di masyarakat saat ini," kata politikus PDIP.
KIS merupakan program yang diluncurkan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menggratiskan biaya kesehatan bagi masyarakat tidak mampu. Salah satu perbedaannya dengan BPJS, peserta KIS tidak dipungut iuran.
Jika pasien KIS berada dalam kondisi darurat, RS wajib melayaninya tanpa harus ada surat rujukan.
Parta mengaku mendapat laporan dari warga atas nama Pasien Gede Suka Sudan nomor kartu 0000820671344, asal Banjar Telabah Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar pasien kecelakaan tunggal, sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit Ari Canti. KIS dinyatakan tidak berlaku dan pasien disarankan ke umum.
Ia mengatakan, semestinya pihak rumah sakit harus mendahulukan penyelamatan nyawa orang. Tidak harus dengan cara menyodorkan biaya seperti itu. Ini harus ke depannya pemerintah mempertagas mengenai pelayanan dari rumah sakit tersebut.
Kronologisnya, pasien asal Banjar Telabah Desa Sukawati, Gianyar ini membutuhkan operasi secepatnya di Unit Gawat Darurat (UGD) karena menjadi korban kecelakaan tunggal. Pihak RS bersedia melayaninya dengan status sebagai pasien umum.
Pasien harus membayar Rp10 Juta di muka untuk bisa ditangani oleh pihak RS.
Keluarga pasien, Wayan Catra, mengakui ia harus membayar Rp10 Juta agar Gede Suka Sudan bisa dioperasi (tindakan medis) di ruang ICU RS Ari Canti.
Dijelaskannya, saat mengantar pasien yang merupakan keponakannya, dia menyerahkan KIS saat pendaftaran. Ia kemudian disodorkan berkas untuk ditandanganinya. Ia kemudian diminta ke bagian kasir untuk membayar Rp10 Juta.
Catra yang mengaku sebagai petani ini mengakui dirinya tidak mengetahui prosedur penggunaan KIS. Ia menjalankan "perintah" pihak RS. Yang ada dalam pikirannya bagaimana keponakannya itu bisa tertolong.
"Setelah selebaran saya tandatangani, saya disuruh ke kasir bayar deposit (DP) selama 1x24 jam. Saya bayar DP Rp10 Juta," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016