Denpasar (Antara Bali) - Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar telah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) terhadap kasus keracunan makanan yang menyebabkan diare pada 41 warga Desa Bukian, Kabupaten Gianyar.
"Karena kasusnya bersifat lokal tidak lintas kabupaten, maka yang menetapkan KLB adalah Dinkes setempat, kecuali kalau ternyata lintas kabupaten baru penetapan KLB oleh Diskes Provinsi," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Ketut Suarjaya di Denpasar, Kamis.
Penetapan KLB kasus keracunan makanan itu mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No 1501 tahun 2010 tentang jenis penyakit menular tertentu yang menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan.
"Yang KLB bukan diarenya, tetapi keracunan makanannya. Kalau diare `kan merupakan penyakit bisa terjadi berulangkali, tetapi kasus keracunan makanan ini terjadi peningkatan jumlah penderita secara signifikan dan bukan kasus rutin," ucapnya.
Dari 41 warga yang terserang diare itu, sebanyak enam di antaranya dirujuk ke RSUD Sanjiwani Gianyar dan sisanya dirawat di Puskesmas Payangan, Gianyar. Mereka itu warga yang berasal dari dua banjar (dusun adat) yakni 38 orang dari Banjar Subilang dan tiga orang dari Banjar Bukian.
Berdasarkan informasi di lapangan, 41 korban diare tersebut sebelumnya menghadiri upacara perkawinan di Banjar Subilang sejak Sabtu (5/11) hingga Senin (7/11), dugaan sementara penyebab keracunan makanan itu dari olahan "lawar" atau salah satu makanan tradisional Bali yang dihidangkan saat upacara tersebut.
Ada lima pasangan pengantin yang melaksanakan upacara perkawinan, masing-masing di rumah keluarga I Ketut Sugita, I Made Kebet, I Made Gambar, I Nyoman Gunawa, dan I Made Geremeng.
"Kami juga telah mengambil sampel dari alat-alat memasak, bahan-bahan yang digunakan, hingga air untuk proses pengolahan makanan di desa tersebut untuk diperiksa. Sedangkan sampel sisa makanan saat berlangsungnya upacara tidak bisa didapatkan karena sudah habis," ucap Suarjaya.
Menurut Suarjaya, hasil pemeriksaan tersebut, paling cepat keluar dalam tiga hari ke depan karena kuman yang diteliti sebelumnya harus dibiarkan terlebih dahulu.
Pihaknya mengimbau masyarakat untuk benar-benar memperhatikan faktor higienitas mulai dari bahan-bahan yang digunakan, alat pengolahan, proses pengolahan, orang yang memasak hingga proses penyajian agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
"Apalagi dalam proses membuat makanan tradisional untuk ritual keagamaan dikerjakan oleh banyak orang dan di desa-desa itu seringkali babi yang disembelih hanya dicuci di telabah (parit)," kata Suarjaya.(WDY)