Denpasar (Antara Bali) - Bali mengalami inflasi perdesaan sebesar 0,27 persen pada bulan Agustus 2016, lebih besar dibanding inflasi perdesaan tingkat nasional pada bulan yang sama tercatat 0,06 persen.
"Dari 33 provinsi di Indonesia yang menjadi sasaran survei, sebelas di antaranya mengalami deflasi dan 22 provinsi mengalami inflasi," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Adi Nugroho di Denpasar, Sabtu.
Ia mengatakan, inflasi perdesaan tertinggi terjadi di Provinsi Maluku Utara sebesar 0,99 persen dan terendah di Provinsi Jawa Barat 0,02 persen.
Sedangkan deflasi terbesar tercatat di Sulawesi Barat 0,53 persen dan terendah di Provinsi Jawa Barat 0,02 persen.
Adi Nugroho menambahkan, indeks harga konsumen perdesaan (IHKP) dapat ditunjukkan oleh indeks harga konsumsi rumah tangga petani yang merupakan komponen dalam indeks harga yang dibayar petani.
Indeks harga konsumen (IHK) perdesaan terdiri atas tujuh kelompok pengeluaran yakni kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, kelompok perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, rekreasi, olahraga serta kelompok transportasi dan komunikasi.
Inflasi perdesaan di Bali tersebut dipicu oleh naiknya rata-rata harga pada semua kelompok komoditas mulai dari pendidikan, rekreasi dan olahraga yang naik sebesar 0,85 persen.
Selain itu makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau naik sebesar 0,42 persen, kesehatan 0,26 persen, bahan makanan 0,24 persen, sandang 0,20 persen, transportasi dan komunikasi 0,12 persen serta kelompok perumahan 0,11 persen.
Secara umum komoditas penyumbang inflasi pada bulan Agustus 2016 antara lain cabai rawit, bawang merah, rokok, ikan pindang, tongkol, uang bayar sekolahan SMP serta uang bayaran SMA.
Adi Nugroho menambahkan, dari lima subsektor yang menentukan pembentukan NTP Bali, dua di antaranya mengalami kenaikan dan tiga subsektor mengalami penurunan.
Kedua subsektor yang mengalami peningkatan tersebut terdiri atas subsektor tanaman pangan sebesar 0,66 persen dan subsektor peternakan 1,24 persen.
Sedangkan tiga subsektor yang mengalami penurunan meliputi subsektor hortikultura 0,82 persen, tanaman perkebunan rakyat 1,53 persen dan subsektor perikanan 0,94 persen.
NTP tersebut mampu menunjukkan daya tukar dari produk pertanian terhadap barang dan jasa yang diperlukan petani untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk biaya produk pertanian.
Nilai tukar petani diperoleh dari perbandingan indeks yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, semakin tinggi NTP dan semakin kuat pula tingkat kemampuan daya beli petani, ujar Adi Nugroho. (WDY)