Singaraja (Antara Bali) - Suasana berbeda dibanding daerah lainnya di Bali langsung terasa saat memasuki Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, sekitar 80km di utara ibu kota Denpasar, Rabu (6/7), bertepatan dengan hari pertama Lebaran.
Desa dengan penduduk sekitar 100 kepala keluarga tersebut, memang lain dari yang lain karena hampir seratus persen warganya yang asli Bali tersebut memeluk agama Islam, berbeda kontras dengan masyarakat Bali yang umumnya adalah penganut Hindu.
Hanya beberapa ratus meter dari pintu gerbang bertuliskan "Selamat Datang di Desa Pegayaman" di jalan raya yang menghubungkan Singaraja dan Bedugul, suasana langsung berubah, kontras dengan suasana sebelumnya
Dalam perjalanan di Bali menuju desa tersebut, banyak banyak terlihat warga yang melakukan upacara adat di pura dan arak-arakan di jalan.
Bali memang dikenal sebagai daerah yang tidak ada hari tanpa upacara adat dan nama Bali pun sering diplesetkan sebagai singkatan dari "Banyak Libur." (libur lokal terkait hari besar keagamaan.Red)
Hal pertama yang dijumpai saat memasuki Desa Pegayaman adalah segerombolan anak-anak muda di pinggir jalan yang usai menjalankan sholat Idul Fitri di mesjid dan musholla yang tersebar di desa itu.
Kaum pria menggunakan baju koko dan peci serba putih, sementara yang perempuan masih menggunakan mukena yang umumnya juga berwarna putih.
Ketika Antara secara tidak sengaja memarkirkan kendaraan di halaman komplek Pesantren Al Iman, sekitar sepuluh anak-anak, laki-laki dan perempuan langsung mendekat.
Meski baru pertama kali bertemu, tanpa dikomando mereka langsung mengantri untuk bersalaman memberikan ucapan selamat hari Lebaran. Sebagian dari mereka juga masih menggunakan busana muslim usai menjalankan sholat Idul Fitri di mushollah yang ada di komplek pesantren itu.
Sementara beberapa orang perempuan dan laki-laki dewasa, dengan ramah juga kemudian mengulurkan tangan sebagai tanda selamat datang dan mengucapkan salam, tanpa menanyakan maksud kedatangan tamu asing yang entah dari mana.
Tidak berapa berselang, muncul seorang pria berusia sekitar 70 tahun berperawakan sedang yang berpakaian rapi, yang kemudian ditetahui ternyata Kepala Pondok Pesantren Al Iman bernama Nengah Surudin.
Surudin yang juga belum mengetahui identitas dan maksud kedatangan tampu itu dengan ramah mengundang Antara untuk masuk ke rumahnya yang berada di dalam komplek.
Di dalam rumah tersebut, ada sekitar lima orang tamu yang khusus datang untuk berlebaran dengan Surudin.
Nengah Surudin dan para tamunya tampak kaget dan bercampur gembira ketika diberitahu bahwa kedatangan Antara khusus untuk merasakan suasana hari Lebaran di di desa tersebut.
Sambil menikmati hidangan tape dan uli khas Pegayaman, Nengah Surudin kemudian menceritakan harmoni kehidupan beragama di desanya yang sebagian warganya menggantungkan hidup dari hasil pertanian.
Sebagai keturunan asli Bali, tapi menganut Islam, nama masyarakat pun dikombinasikan antara nama Bali yang notabene identik dengan Hindu dan nama Islam, seperti halnya Nengah Surudin.
Contoh lain penggunaan nama untuk menggambarkan akulturasi tersebut adalah keluarga Ketut Samaudin (69 tahun) yang memiliki delapan orang anak diberi nama Wayan Wahyudi, Nengah Cahyadi, Nyoman Rosida, Ketut Rahmadi, Ketut Mutoharoh, Ketut Mu'arifah, Ketut Ma'ida dan Ketut Abdur Rochman.
Yang menarik, untuk menjaga identitas sebagai Muslim, warga Pegayaman ternyata hanya menggunakan empat nama sesuai urutan, yaitu Wayan, Nengah, Nyoman dan Ketut.
Jika ada keluarga yang memiliki anak lebih dari empat anak seperti hanya Samaudin, maka nama berikutnya tetap Ketut, tidak kembali pada nama anak pertama seperti pada umumnya yang dilakukan oleh orang Bali.
"Bagaimana pun kami adalah orang Bali dan harus tetap menjaga tradisi nama berdasarkan urutan
Hal lain yang cukup unik dan sampai sekarang masih tetap diberlakukan di Desa Pegayaman adalah waktu sholat tarawih yang mulai pukul 23.00, sementara sholat Idul Fitri baru dimulai pukul 10.00 Wita.
"Untuk sholat tarawih dan Idul Fitri, kami mempunyai waktu tersendiri dan berbeda dengan daerah lain umumnya, yaitu berdasarkan zona waktu Desa Pegayaman," kata Ketut Surudin berseloroh.
Berbedanya waktu sholat ternyata berdasarkan pada sejarah sebelumnya mengingat warga desa tinggal berpencar di daerah berbukit sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai mesjid.
Ketut Jamal, warga Pegayaman lainnya yang juga salah satu pendiri Pondok Pesantren Al Iman menuturkan bahwa keberadaan desanya telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Buleleng dan juga Bali pada umumnya.
Selain Idul Fitri dan Idul Adha, hari besar Islam yang dirayakan secara meriah adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Bahkan Mauid Nabi lebih meriah karena warga Pegayaman yang merantau akan berusaha sebisanya untuk pulang berkumpul dengan keluarga, membuat suasana desa tersebut lebih hidup.
Menurut sejarah, seperti yang dituturkan Nengah Surudin, berbedanya keyakinan yang dianut masyarakat Desa Pegayaman tidak terlepas dari perjalanan sejarah Kerajaan Buleleng yang mengutus prajurit ke Banyuwangi dan kemudian ternyata tertarik dengan ajaran Islam di ujung timur Pulau Jawa tersebut.
"Kami tetap menjaga tradisi dan adat istiadat Bali, sepanjang tradisi tersebut tidak berbentangan dengan ajaran Islam," kata Ketut Jamal.
Salah satu tradisi yang dihindari oleh komunitas Pegayaman tentu saja hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan mengonsumi daging babi. Desa tersebut bahkan bersih dari anjing peliharaan, meski pada masyarakat Islam di daerah lainnya memelihara anjing adalah hal yang lumrah. (WDY)
Bertandang ke Pegayaman, Desa Muslim di Pulau Dewata
Kamis, 7 Juli 2016 16:04 WIB