Singaraja (Antara Bali) - Masyarakat Dalem Tamblingan di Kecamatan Banjar dan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali tetap melestarikan tradisi "Nyakan Diwang" atau memasak di pinggir jalan pada hari "Ngembak Geni", sehari setelah hari Raya Nyepi.
"Tradisi ini sudah turun temurun dijalankan oleh masyarakat di Desa Gobleg, Umejero, Munduk, Gesing dan beberapa desa lain di wilayah Kecamatan Banjar," kata I Nyoman Arya Sidarta, salah satu tokoh masyarakat asal Desa Umejero, Kamis.
Menurut dia, secara filosofis tradisi tersebut bermakna sebagai salah satu wujud syukur karena sehari sebelumnya dapat melaksanakan catur brata penyepian (empat larangan) dengan baik dan lancar.
Empat larangan dalam Nyepi itu kata dia yakni `Amati Geni` atau tidak menyalakan api, "Amati Lelanguan" atau tidak boleh melaksanakan kegiatan yang berfoya-foya atau bersenang-senang, "Amati Lelungan" atau tidak boleh berpergian melainkan harus tetap diam di rumah dan "Amati Karya" atau tidak boleh melakukan pekerjaan.
Arya menambahkan, makna yang lebih mendalam dari tradisi tersebut adalah wujud "menyama braya" atau menjalin hubungan persaudaraan antarsesama karena ketika memasak di jalan terjalin rasa harmonis antartetangga dan masyarakat satu desa.
"Ketika bersama-sama memasak di pinggir jalan akan muncul suasana kebersamaan, di mana antara satu orang dengan lain saling tegur sapa setelah sehari sebelumnya melakukan brata/pertapaan di rumah masing-masing," kata dia.
Dikatakan, masyarakat yang melakukan tradisi tersebut bangun pada subuh (Ngembak Geni) sekitar pukul 02.00 Wita. Mereka mulai menyiapkan tungku api berbahan batu-bata atau batako di depan rumah, tepat di pinggir jalan raya.
"Setelah sudah siap, warga mulai memasak berbagai kebutuhan, mulai dari nasi, lauk pauk dan lain-lainnya sembari bertegur sapa dan bercengkrama dengan warga lainnya," paparnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, salah satu tradisi tua tersebut sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang dahulu kala, dimana terus dilanjutkan hingga saat ini.
"Tradisi ini sudah ada sejak saya kecil dan tetap ajeg hingga saat ini. Pihak desa pakraman (adat) pun terus berupaya melestarikannya dengan mewajibkan `krama` (warga adat) membuat tungku masak tiap rumah," ujarnya. (WDY)