Denpasar (Antara Bali) - Paguyuban Merah Putih Bali (PMPB) melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan reklamasi atau revitalisasi di Teluk Benoa, Kabupaten Badung, karena tindakan tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Hindu.
"Dalam lontar atau sastra sudah jelas-jelas jika reklamasi itu dilarang. Ada tertulis menguruk laut, loloan (muara), pangkung (jurang), segara (laut) itu dilarang. Lontar sudah menunjukkan hal itu. Mengapa tindakan reklamasi itu dilakukan," kata seorang Pembina PMPB AnakAgung Gde Bagus Suteja di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan pihaknya akan menghadap Gubernur Bali Made Mangku Pastika untuk menunjukkan isi lontar tersebut agar reklamasi Teluk Benoa dibatalkan.
"Kalau orang Bali sendiri tidak menghayati lontar kuno dan bisa dipertanggungjawabkan, maka akan hancur lebur Bali ini. Anak cucu nantinya yang akan menderita. Namun anak cucu yang dimaksud bukan dalam pengertian biologis, tetapi anak cucu yang dimaksud adalah ibu pertiwi, bumi Bali itu sendiri," ujarnya.
Menurut tokoh Puri Jembrana itu, bahwa dalam reklamasi Teluk Benoa, ada beberapa aspek yang harus dikaji yakni politik, ekonomi, hukum dan budaya. Kajian yang dilakukan selama ini masih terlalu dangkal karena dilakukan secara instan dan dibalut kepentingan uang dan ekonomi.
Terlebih dalam aspek politik, kata dia, sudah terindikasi masuknya paham neoliberalisme di Bali. Ideologi ini sudah berhasil memecah belah warga Bali sehingga mudah untuk dikuasai.
"Lihat saja, saat ini terjadi pro dan kontra yang luar biasa, banjar-banjar di Bali terpecah belah, ada yang membela, ada yang kontra dan ada yang netral. Belum lagi dari kelompok agama, intelektual, akademisi. Semuanya sudah terpecah-pecah di Bali. Kondisi ini menyebabkan Bali mudah dikuasai," ucapnya.
Dikatakan dari aspek hukum juga sama. Dengan adanya Perpres Nomor 51 Tahun 2014, hukum adat Bali diinjak. Sekali pun lontar mengatakan menguruk segara (laut), campuhan (pertemuan aliran sungai), dan sebagainya dilarang oleh agama dan budaya, namun karena lahirnya Perpres 51 Tahun 2014, maka hukum adat mulai luntur dan bahkan diinjak-injak.
Begitu juga dalam aspek ekonomi, juga terjadi upaya sistematis untuk menyenangkan rakyat Bali tetapi 90 persen keuntungan ada di tangan investor. Pembukaan lapangan kerja sebanyak 250 ribu orang hampir dipastikan bukan warga lokal Bali karena saat ini warga Bali sudah dalam posisi jenuh. Orang Bali tamat sarjana hanya disuruh penjaga pintu hotel.
"Hampir dipastikan yang bekerja sebagai tenaga kerja itu bukan orang Bali. Mereka akan bawa istri sampai anaknya. Ini juga berpengaruh terhadap daya tampung pemukiman di Bali bagian selatan. Mereka bekerja di kawasan Bali bagian selatan (Nusa Dua Sanur, dan Kuta) tidak mungkin tinggalnya di Buleleng atau Karangasem. Pastinya tinggal di seputar Denpasar dan Badung," katanya.
Begitu juga seorang pemangku (rohaniawan) diajak demonstrasi tidak dibenarkan dalam ajaran agama. Mereka adalah seorang pemimpin upacara agama tapi digiring untuk diajak demo.
"PMPB sudah berkoordinasi dengan PHDI soal keterlibatan para pemangku (rohaniawan Hindu) tersebut. Para aktor intelektual memanfaatkan para pemangku yang lugu untuk kepentingan sesaat. Dampaknya, generasi Bali didoktrin sebagai generasi instan dan ini sangat berbahaya untuk 20 sampai 30 tahun yang akan datang," katanya. (WDY)