Hamparan lahan sawah yang menghijau dengan lokasi yang berundak-undak (terasering) di Jatiluwih, Penebel, daerah "gudang beras" di Kabupaten Tabanan, memiliki pemandangan dan keindahan panorama alam.
Perpaduan lembah dan perbukitan di bagian hulu Gunung Batukaru itu dikitari lingkungan dan kawasan hutan yang lestari menjadi satu kesatuan hamparan lahan sawah yang relatif cukup luas.
Sedikitnya sepuluh subak di kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dengan total luas sekitar 1.000 hektare diharapkan tetap lestari dan dipertahankan kesinambungan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD), tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr. I Wayan Windia, M.S.
Keyakinan mampu mempertahankan kelestarian subak yang berperan dalam mempertahankan ruang hijau dan ketahanan pangan itu didasarkan atas keputusan UNESCO, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa membidangi pendidikan telah memasukkan subak sebagai warisan budaya dunia.
Pemerintah Indonesia dan Bali khusus berjuang hampir selama 12 tahun untuk menjadikan subak sebagai salah satu WBD sekaligus mempertahankan kawasan hijau, menjaga kelestarian lingkungan, menyediakan pangan, sekaligus objek wisata.
Pembagian air secara adil dan merata untuk lahan persawahan di bagian hulu hingga hilir saluran irigasi dalam hamparan lahan sawah yang relatif cukup luas menjadi ciri khas dari sistem organisasi pengairan tradisional bidang pertanian.
Organisasi yang diwarisi turun-temurun itu tetap eksis meskipun terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak dapat dihindari akibat pesatnya pembangunan menyangkut berbagai aspek sehingga mengorbankan sawah.
Selain itu, pajak bumi dan bangunan (PBB) sejak lama mengundang kontroversi, bahkan di kalangan petani, dianggap sebagai hantu yang secara perlahan mematikan sektor pertanian.
Hal itu akibat nilai PBB hampir setiap dua tahun dinaikkan sesuai dengan perkembangan inflasi. Selain itu, dasar pengenaan PBB adalah lokasi sawah atau nilai jual objek pajak (NJOK).
Windia, Guru Besar Fakultas Pertanian Unud, menilai PBB tampaknya menjadi undang-undang pajak yang paling diskriminatif, memihak investor, dan mematikan kaum tani yang sudah berada dalam kondisi setengah-hidup.
Petani yang dikenai pajak atas dasar nilai asetnya, sementara kaum PNS, sektor sekunder dan tersier, justru dikenai pajak atas dasar produktivitas dan pendapatannya.
"Jika demikian halnya, percuma saja kaum birokrat berkaok-kaok untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan yang kini di Bali dalam kondisi mengkhawatirkan," ujar Prof. Windia.
Demikian pula, percuma adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pasalnya, relatif banyak petani terpaksa harus menjual sawahnya akibat tekanan PBB yang mematikan.
Adu Pendapat
Profesor Windia mengaku pernah adu pendapat dengan mantan Menteri Pertanian Prof. Bungaran Saragih dalam sebuah seminar yang berlangsung di Bank Indonesia (BI) Denpasar.
Ia mengatakan bahwa porsi PBB dalam total biaya usaha tani relatif sangat kecil. Oleh karena itu, tidak ada pengaruh apa-apa terhadap proses usaha tani.
"Lalu, saya katakan bahwa tidak selamanya porsi PBB sangat kecil seperti itu. Bahkan, kalau di perkotaan, porsi PBB hampir 1.000 persen dari total biaya usaha tani. Namun, di perdesaan bisa mencapai 10 persen," katanya.
Meskipun hanya sepuluh, petani harus punya uang kontan untuk membayar pajak tersebut, padahal petani nyaris tidak punya uang kontan. Uangnya sudah habis untuk keperluan konsumsi.
Sementara itu, tagihan PBB umumnya dilaksanakan pada waktu petani sedang melakukan pengolahan lahan. Akibatnya, mereka tidak bisa membayar PBB tepat waktu dan kena denda.
Utang petani menjadi makin mematikan sehingga petani menjadi orang yang seperempat hidup. Mereka hampir "mati suri" dan tinggal menunggu bunyi lonceng kematiannya.
Ciri kematiannya adalah ketika mereka mulai memutuskan untuk menjual sawahnya. Dalam beberapa kasus terlihat bahwa petani yang menjual sawah, umumnya hanya menunggu waktu 25 tahun, untuk menjadikannnya sebagai buruh tani.
Kalau mereka sudah sampai pada level buruh tani, keturunannya akan terus makin miskin jika tidak ada langkah-langkah strategis untuk membantunya.
Profesor Windia mengaku menaruh respek kepada mantan Bupati Jemberana Gde Winasa yang sempat memberikan bebas pembayaran pajak PBB kepada semua petani di wilayahnya, bukan hanya petani yang sawahnya terkena jalur hijau, seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Kabupaten Badung.
Untuk itu, pihaknya memberikan apresiasi terhadap wacana pemerintahan Joko Widodo menghapus penarikan PBB, seperti halnya dahulu pemerintah menghapus pajak "sepeda angin" dan pajak radio.
Hal itu tentu didasarkan atas pertimbangan penarikan PBB tidak signifikan sebagaimana pajak "sepeda angin" (ontel) dan pajak radio yang telah cukup lama dihapuskan.
"Peranan pajak sepeda dan pajak radio sama sekali tidak signifikan. Kalau hal yang serupa terjadi pada PBB, kenapa PBB tidak segera dihapuskan?" kata Windia.
Untuk itu, pemerintahan Jokowi harus segera menghapus UU No. 12/1985 sebagaimana diubah menjadi UU No. 12/1994 tentang PBB. Undang-undang pajak itu menekan kaum miskin dan memberi peluang orang kaya menjadi makin kaya.
"Hampir semua penelepon ketika saya tampil sebagai pembicara dalam sebuah diskusi di sebuah stasiun televisi menyambut gembira wacana penghapusan PBB," katanya.
Ia menekankan, "Lebih-lebih kalangan petani yang dirugikan selama beberapa dekade terakhir."
Penerapan PBB menekan kaum petani. Namun, mereka tidak memiliki suara yang keras untuk menyampaikan keluhannya. Hingga saat ini, tidak ada organisasi petani dan nelayan yang relatif cukup kuat, yang langsung dipimpin oleh petani atau nelayan.
Hingga saat ini, baru ada Himpunan Kontak Tani Indonesia (HKTI) dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) yang pemimpinnya, umumnya dari kalangan mantan birokrat.
"Kondisi itu berbeda dengan kaum buruh yang memiliki organisasi yang kukuh, bahkan mampu melakukan pembelaan diri," tutur Prof. Windia. (WDY)