Negara (Antara Bali) - Nelayan kecil di Kabupaten Jembrana rata-rata terjerat rentenir, karena mencari pinjaman yang mudah meskipun dengan bunga tinggi.
"Kami tidak tahu apakah rentenir atau bukan, yang jelas untuk mendapatkan pinjaman tanpa ada jaminan barang. Karena cicilan dilakukan setiap hari, kami menyebutnya bank harian," kata Misna, salah seorang isteri nelayan di Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Senin.
Ia mengatakan, untuk mendapatkan pinjaman tersebut, cukup menyerahkan KTP asli yang akan dikembalikan bersamaan dengan penyerahan uang pinjaman, beberapa hari kemudian.
Menurutnya, rata-rata nelayan tetangganya meminjam Rp100 ribu hingga Rp1 juta, dengan lama pencicilan maksimal 40 hari.
Untuk pinjaman Rp100 ribu, ia mengaku, ada potongan Rp20 ribu sehingga hanya menerima Rp80 ribu, yang jika pinjaman sampai Rp1 juta, jumlah potongannya bisa mencapai Rp200 ribu.
Dari penelusuran di lapangan, selain potongan yang cukup besar tersebut, nelayan juga dikenai bunga sampai 20 persen, dengan batas pelunasan 40 hari.
Jika dalam waktu 40 hari, cicilan belum lunas, petugas lapangan dari rentenir memberikan jalan keluar lewat pinjaman baru, sehingga nelayan kembali mencicil dari awal.
"Umpama pinjaman kami Rp1 juta, ternyata dalam 40 hari baru mencapai Rp600 ribu, petugas yang memungut cicilan akan memberikan pinjaman yang sama untuk menutupi kekurangan, yang jika ada sisa dari kekurangan pembayaran akan diserahkan kepada nelayan. Karena dianggap pinjaman baru, kembali kena potongan," kata Samsuri, nelayan lainnya.
Misna maupun Samsuri mengatakan, pola pinjaman ini sudah dilakoni nelayan selama bertahun-tahun, dengan alasan rentenir memberikan pinjaman tanpa syarat administrasi yang bertele-tele.
Meskipun mengakui cukup berat membayar cicilan harian, apalagi untuk pinjaman Rp1 juta yang jumlah cicilannya mencapai Rp40 ribu perhari, mereka mengaku, tidak bisa terhindar dari jerat rentenir ini apalagi saat ada kebutuhan mendadak.
Muhammad Sauki, salah seorang putera Desa Pengambengan yang saat ini menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta dan intens mengikuti perkembangan desanya mengatakan, cukup sulit memberantas praktek rentenir ini, karena nelayan hanya berpikir mencari kemudahan pinjaman.
"Banyak juga yang mengaku sebagai koperasi, tapi pola pinjaman maupun bunganya sama dengan rentenir. Karena kurang paham, nelayan menganggap mereka menolong karena memberikan pinjaman yang mudah, padahal sebenarnya bunganya tinggi," katanya.
Melihat kondisi ini, menurutnya, pemerintah setempat sebenarnya bisa ikut berperan, dengan mendorong berdirinya koperasi di desa-desa nelayan, dengan pelayanan yang mudah.
"Mengurusi nelayan itu yang penting sederhana dan mereka pahami. Bisa saja pola pinjaman bank harian itu diadopsi, namun dengan bunga yang rendah dan tanpa potongan saat penyerahan uang," ujarnya.
Sementara Kepala Dinas Kelautan, Perikanan Dan Kehutanan Jembrana, Made Dwi Maharimbawa saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya belum pernah melakukan kajian terkait jeratan rentenir di kalangan nelayan ini.(GBI)
Nelayan Jembrana Terjerat Rentenir
Senin, 23 Februari 2015 14:47 WIB