Denpasar (Antara Bali) - Perancang busana dan asesoris Leo Syang dan Ell Lisa Ling melakukan terobosan dengan bahan kulit ular phyton dalam mengekspresikan karyanya hingga mampu menembus pasar mancanegara.
"Saya menekuni rancangan busana dan asesoris ini sejak tujuh tahun lalu. Saya ingin mengekspresikan karya berbeda dengan para desainer yang selama ini ada di Tanah Air. Karena itu, saya mengunakan kulit ular phyton," kata Leo Syang di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Artis Remaja Cilik Indonesia (DPP PARCI) Bali-Nusra di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan selama ini masyarakat masih beranggapan mengenakan busana atau asesoris berbahan baku ular berbisa menimbulkan rasa takut. Tetapi melalui rancangan busana dan asesoris yang dibuatnya akan menjadi suatu seni bernilai tinggi.
Leo Syang lebih lanjut mengatakan awal rancangan busana, seperti jaket, bra, rok, ikat pingang, tas dan lainnya sesuatu yang menakutkan dan aneh, tetapi pihaknya menjamin walau berbahan kulit ular, namun tidak akan menimbulkan efek lain, karena sebelumnya sudah dilakukan proses dengan zat kimiawi.
"Rancangan karya busana dan asesorisnya kini sudah semakin digemari masyarakat lokal, bahkan menjadi buruan kaum `jetset` sampai mancanegara," tuturnya.
Dikatakan, beberapa model dalam dan luar negeri bahkan tertarik menggunakan busana berbahan kulit ular dalam penampilan mereka di atas panggung atau menjadi bidikan lensa kamera.
Seperti model dan artis kenamaan Rusia Viera Alessandro yang populer disapa "Bepa" serta model dan artis Bali Putu Sandra, adalah sedikit di antara artis yang berani bereksprimen dengan busana kulit phyton.
Leo Syang menuturkan dibanding dengan busana atau aksesoris lainnya, maka bahan baku kulit ular phyton, relatif tidak mudah didapat. Meskipun, sebenarnya hewan berbisa itu banyak ditemukan di berbagai belahan Nusantara.
"Selama ini, masih ada anggapan bahwa ular seperti phyton itu sebagai hama, karena itu saya ingin menjadikannya agar bisa memiliki nilai lebih," katanya.
Ia mengatakan untuk mendapatkan bahan berkualitas, pihaknya harus berburu ke sejumlah daerah seperti Kalimantan dan Sumatera. Tidak semua jenis dan ukuran ular bisa dimanfaatkan untuk produk fasyen dan aksesoris karena harus dipilih yang benar-benar memenuhi standar kualitas tinggi.
Lewat proses lama saat pengeringan dengan bahan kimiawi yang khusus didatangkan dari Italia itu, kulit ular tersebut selanjutnya dirancang dengan desain khusus atau sesuai kebutuhan.
Bahan itu, kata dia, juga dilakukan pewarnaan untuk menghasilkan karya lebih hidup, dengan lebih banyak dipilih yang menonjolkan lukisan jiwa dan kebudayaan Bali.
"Saya pilih warna yang lebih natural (alam), karena kecenderungan fasyen lebih ke alam," katanya didampingi Dewan Penasehat PARCI Pusat Erry Wibowo dan Ketua PARCI Bali-Nusra Casko Wibowo.
Sebagai gambaran, produk jaket bahan kulit phyton yang banyak dipajang di butik atau gerainya dan dijual ke pasar Eropa seperti Rusia itu, dibandrol dengan harga Rp3 juta hingga Rp7 juta lebih.
"Saya menekuni karya desain berbahan kulit ular phyton sejak tujuh tahun dan sudah sedikitnya tiga puluh ribu karya dihasilkan," ujarnya.
Bagi Viera Alessandro, mengenakan busana berbahan kulit phyton merasakan kesan sensansi tersendiri dan sangat unik.
"Ya senang sekali, cukup unik mengenakan busana berbahan kulit ular," kata Bepa saat mengenalkan jaket bahan kulit ular itu.
Hal senada juga diucapkan Putu Sandra, awalnya merasa risih memakai busana kulit ular, tetapi dengan penuh percaya diri, akhirnya menjadi biasa.
"Saya awalnya takut, sekarang tidak lagi. Ini karya seni tinggi dan sangat unik," kata Sandra yang juga mahasiswi Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana itu. (WDY)