Sanur (Antara Bali) - Pakar kelautan dari Institut Pertanian Bogor Dr Ir Arif Satria mengatakan, konservasi laut di Indonesia memerlukan desain ulang karena saat ini ada tiga rezim yang terkait dengan masalah itu.
Tiga rezim itu adalah kehutanan (UU 5/1990), perikanan (UU 31/2004), rezim pesisir (UU 27/2007), katanya pada pertemuan rutin tahunan ATBC (Association for Tropical and Conservation) di Sanur, Provinsi Bali, Selasa.
Pada hari pertemuan ATBC yang diikuti tidak kurang dari 900 ilmuwan dalam negeri dan mancanegara itu, ia memaparkan tema "Politics of Marine Conservation and Sustainable Fisheries".
Menurut dia, tiga rezim itu membingungkan meski substansinya sama.
Arif Satria yang juga menjabat Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menegaskan bahwa desain ulang itu juga perlu agar konservasi bisa lebih ramah pada nelayan. "Karena itu, desentralisasi konservasi laut harus diperkuat," katanya.
Ia mengemukakan bahwa saat ini 61 persen kawasan konservasi adalah desentralistik, tapi semua itu masih dalam tahap inisiasi dan berupa surat keputusan (SK) bupati.
"Desentralisasi penting agar masyarakat merasa memiliki kawasan konservasi. Untuk itu desain ulang juga berupa hasil rekonsiliasi antara ilmuwan sosial dan ilmuwan alam," katanya.
Menurut dia, selama ini ilmuwan sosial sering diabaikan dalam mendesain konservasi sehingga Kementerian Kelautan dan Perikanan disarankan untuk melakukan rekonsiliasi dengan Kementerian Kehutanan.
ATBC merupakan organisasi profesi terbesar dan tertua di dunia dalam hal biologi dan pelestarian alam tropika.
Organisasi itu telah melakukan pertemuan tahunan rutin sejak 1963, terutama di negara tropis, dan pada 2010 Indonesia menjadi tuan rumah untuk pertama kalinya dengan penanggung jawab kegiatan LIPI dan Universitas Indonesia.
ATBC yang dibentuk pada 1963 mempunyai misi memberdayakan riset serta memfasilitasi pertukaran pemikiran di bidang biologi dan lingkungan tropika. Sebagai suatu perhimpunan, maka ATBC menerbitkan suatu publikasi ilmiah berskala internasional yang kini menjadi salah satu terbitan paling terkemuka di bidangnya, yaitu Biotropica.
Menurut keterangan yang disampaikan panitia, fokus ATBC digalang dengan komprehensif, mulai dari sistematika hingga ekologi, dari jasad renik hingga flora fauna berukuran-besar, dari perairan tawar hingga kehutanan dan lautan.
Kini ATBC bahkan mencakup dimensi manusia, dengan memperhatikan bahwa interaksi manusia seringkali berperan sangat menentukan terhadap disiplin biologi, dan interaksinya.
Pertemuan tahunan ATBC merupakan pertemuan yang penting, sehingga penyelenggaraannya pun dilaksanakan di berbagai penjuru dunia, sebagai contoh: pada 2001 di Bangalore, India (symposia), 2002 di Panama City, Panama (symposia), 2003 di Aberdeen, Inggris (abstracts), 2004 di Miami, Amerika Serikat (abstracts), 2005 di Uberlandia, Brasil (symposia), 2006 di Kunming, China (abstracts).
Kemudian, pada 2007 di Morelia, Mexico (abstracts), 2008 di Paramaribo, Suriname (abstracts), 2009 di Marburg, Jerman, sedangkan 2010 (19-23/7) dilaksanakan di Indonesia dengan tema "Keanekaragaman Tropika: Menghadapi Krisis Pangan, Energi dan Perubahan Iklim"'.
Dalam pertemuan ini dibahas berbagai hal Keanekaragaman Hayati Pesisir dan Lautan, Perubahan Iklim dan Kehutanan berbasis Karbon, Kesehatan dan Konservasi, Sistem Pengetahuan Tradisional, Ekosistem di Papua dan Papua Nugini, Biogeografi di Wallacea, Orang-utan, Ornitologi, Entomologi, dan banyak lainnya.
Hari pertama sesi pemaparan hasil riset dilakukan sepanjang Selasa pagi hingga malam hari, dan rencananya kegiatan itu baru akan dibuka oleh Wakil Presiden Boediono pada Rabu (21/7).(*)
Konservasi Laut Indonesia Perlu Desain Ulang
Selasa, 20 Juli 2010 16:25 WIB