Wisatawan mancanegara yang berulang kali berkunjung ke Bali tidak pernah merasa jenuh dan bosan, karena selalu akan menemukan suasana baru serta tradisi, seni budaya yang unik dan menarik untuk dinikmati.
Demikian pula perpaduan panorama alam sawah berundak-undak, lembah, pesisir pantai dan gunung dengan danau di lerengnya merupakan panorama alam yang menambah daya tarik Pulau Dewata bagi masyarakat dunia.
Leluhur orang Bali tidak pernah berpikir untuk menyeragamkan seni budaya sehingga sekitar 1.480 desa pakraman (adat) di delapan kabupaten dan satu kota di Bali mewarisi kekhasan budaya masing-masing.
"Di antara ribuan desa adat itu mewarisi tradisi yang beragam, tidak ada yang sama satu sama lainnya," tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. Ketut Sumadi.
Alumnus program pascasarjana Universitas Udayana itu mengatakan bahwa masyarakat Bali dalam kehidupan bermasyarakat, lebih mengedepankan kearifan lokal dan perilaku yang bermakna sosial.
Dalam aktivitas sehari-hari lebih mengutamakan kebersamaan yang dikenal dengan "menyama braya" yakni hidup rukun dan damai penuh persaudaraan. Sikap "menyama braya" orang Bali itu merupakan pengamalan ajaran Hindu "Tat Twam Asi" yang berarti hidup rukun dan saling menghormati hak asasi seseorang.
Sikap "menyama braya" sejalan dengan pengamalan yang lebih luas mempunyai makna maha tinggi dalam menjalin keharmonisan hidup dengan sesama dan alam semesta, termasuk dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam keutuhan NKRI.
Untuk itu para pemimpin Bali dan majelis utama desa pakraman (MUDP) hendaknya mampu mendorong kegairahan kehidupan dalam desa pakraman, meskipun selama ini sudah cukup baik.
Upaya itu dapat dilakukan dengan memutar "cakra yadnya" yakni orang Bali dan para pendatang sepatutnya membangun sikap religiusitas dengan mengamalkan nilai-nilai kearifan lokal Tri Hita Karana (THK) yang selama ini melandasi kehidupan desa adat,
Hal itu dapat dilakukan melalui pertemuan untuk membangkitkan dan mengaktifkan organisasi (paiketan) para pemangku, pemimpin kegiatan ritual, tukang banten yang membuat rangkaian ritual dan kelompok pendukung lainnya dalam kegiatan adat dan ritual.
Organisasi itu termasuk sekaa pesantian (kelompok pembaca ayat-ayat suci agama Hindu), sekaa kesenian yang merangkul penari dan penabuh, ahli bangunan (undagi) dan pengurus lembaga perkreditan desa (LPD) lembaga keuangan di masing-masing desa adat.
Jika semua organisasi tradisional itu mampu dibangkitkan kembali akan mampu untuk berperanserta secara aktif sesuai keterampilan dan keahlian yang dimiliki dalam memacu dan menyukseskan pembangunan di wilayah desa adat masing-masing.
Oleh sebab itu pemerintah Provinsi Bali, Pemkab dan Pemkot dapat memberikan dukungan moral maupun bantuan dana kepada organisasi tradisional tersebut yang tersebar pada 1.480 desa adat.
Hal itu menjadi modal untuk dapat menggerakkan "Cakra Yadnya" dalam menjaga ketahanan dan kelestarian desa pakraman di Pulau Dewata.
Ujung tombak
Suami dari Ni Ketut Tirtawati yang pernah melakukan penelitian "Pengaruh Tingkat Sosial Ekonomi Terhadap Desa Adat di Bali" itu menjelaskan, jika potensi dan keahlian anggota organisasi tradisional itu bisa dikelola serta ditingkatkan dengan bantuan ilmu majaneman modern, mereka akan menjadi ujung tombak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masing-masing desa pakraman.
Upaya itu sekaligus mendorong pengembangan lembaga perkreditan desa (LPD) dan koperasi desa, karena roda perekonomian diputar oleh warga desa adat sendiri melalui kegiatan ritual dan adat yang dilakoni secara tulus ikhlas.
Oleh sebab itu para pemimpin Bali hendaknya mampu merangkul para Bendesa Pekraman (adat) untuk bahu membahu meningkatkan pembangunan dan memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat.
Upaya itu disertai dengan melaksanakan aktivitas religius untuk menjaga keamanan dan kenyamanan semua orang yang tinggal di Bali sesuai kearifan lokal Tri Hita Karana (THK).
Selain itu perlu adanya persamaan persepsi orang Bali, bahwa kegiatan pariwisata dan aktivitas religius sama-sama memiliki tujuan mulia, yakni untuk membangun kesejahteraan masyarakat lahir bathin.
Upaya pelestarian nilai-nilai religius, seni dan budaya masyarakat Bali selama ini bisa berjalan seiring dengan pengembangan pariwisata. Sikap itu sebagai wujud menyamakan persepsi tentang identitas Bali yang telah menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya.
Hal itu sejalan pula dengan Perda Bali Nomor 3 Tahun 1991, pasal 3, yang menegaskan bahwa tujuan penyelenggaraan pariwisata budaya untuk memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata.
Sebanyak 1.480 desa pekraman di Bali hingga kini memegang teguh adat dan tradisi yang diwarisi dari leluhurnya secara turun temurun. Aktivitas budaya dan ritual yang tetap lestari menjadi salah satu daya tarik bagi wisata.
Masyarakat setempat tetap mengimplementasikan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang tidak bisa lepas dari budaya lokal (lokal genius), yang lebih dikenal dengan konsep "desa, kala, patra" atau desa mawacara (tempat, waktu dan keadaan).
Kearifan lokal yang hingga kini dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat mampu mewujudkan kehidupan yang rukun dalam ikatan sistem sosial. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika Bali hingga sekarang tetap menjadi destinasi wisata pavorit bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Dewata.
Untuk itu peraturan desa pekraman (awig-awig) yang telah disepakati bersama oleh seluruh warga desa adat harus mampu memproteksi diri terhadap perkembangan pariwisata yang semakin pesat.
Hal itu penting dalam mengantisipasi instistusi desa adat di Bali belakangan ini mulai kehilangan daya kritis, ujar Ketut Sumadi. (WDY)