Denpasar (Antara Bali) - Seorang antropolog ekologi yang telah mempelajari subak sejak tahun 1974, Steve Lansing, mengatakan bahwa subak atau sistem irigasi persawahan di Bali berada diambang kehancuran.
Hal itu terjadi karena sebagai petani telah menjualnya kepada kepada pengembang yang mengakibatkan luas lahan produksi berkurang hingga 1000 hektar setiap tahunnya, kata Steve Lansing dalam rilisnya yang diterima Antara di Denpasar, Kamis.
Subak merupakan sistem irigasi sawah khas Bali yang telah dianugerahi status Warisan Dunia untuk kategori lanskap budaya dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Selama lebih dari 1000 tahun, subak berhasil menjaga keberlangsungan jasa lingkungan pertanian, namun kini terancam akibat kepopulerannya.
Subak merupakan sistem yang terpadu, maka ketika sebagian lahan dijual, beban yang ditanggung oleh persawahan di sekitarnya akan meningkat, ujarnya.
Kondisi tersebut akan memberikan tekanan yang lebih besar bagi petani untuk menjual sawahnya, yang kemudian mengancam keberlangsungan seluruh sistem.
Jika laju hilangnya lahan tetap berlanjut seperti sekarang ini, maka seluruh lahan subak terancam dan jika tidak ada tindakan yang diambil dalam beberapa tahun keseluruhan sistem akan hancur.
Dengan demikian, untuk mencegah hal ini, UNESCO mengadopsi model dukungan dari bawah yang selama ini telah digunakan subak sebagai rencana perlindungan sistem tersebut.
Rencananya Steve dan rekan-rekannya yang merupakan penduduk asli Bali, Dewan Pengurus yang terdiri dari kepala desa dan subak bertugas mengelola wilayah warisan dunia ini.
Dewan inilah yang memutuskan aspek mana dari lanskap yang dapat melibatkan pengunjung, menarik biaya kunjungan mereka, dan menggunakan pendapatan ini untuk kepentingan bersama, ujarnya.
Dia menargetkan untuk menjadikan subak sebagai situs UNESCO pertama di Asia yang dikelola secara lokal, dan bukan oleh pemerintah.
Pihaknya berharap dewan tersebut dapat bertindak cepat untuk mengatasi ancaman terhadap keberadaan subak," katanya.
Sementara itu, Meine van Noordwijk selaku kepala peneliti di World Agroforestry Centre menilai perkembangan penting yang harus dicatat adalah bagaimana usaha pelestarian tidak hanya dilakukan di lahan persawahan, tetapi juga di sistem pengelolaannya.
Subak mengelola sistem pengairannya sendiri yang terkait erat satu sama lain. Hal ini berbeda dengan situs warisan UNESCO lainnya di Asia, di mana biasanya dibentuknya sistem pengelolaan dengan pendekatan dari atas ke bawah, ujarnya.
Ketahanan subak sebelumnya teruji oleh Revolusi Hijau di tahun 1970-an, ketika pemerintah Indonesia memperkenalkan teknologi-teknologi modern seperti varietas baru padi, pupuk kimia, dan pestisida organik.
Saat itu, petani didorong untuk menanam padi sesering mungkin dengan pupuk dan pestisida jenis baru, yang penggunaannya melampaui pola sistem pura air yang terkontrol, yang sebenarnya memberikan pasokan pupuk dan pengendalian hama alami.
Kebijakan ini memiliki hasil yang tidak direncanakan. Jeda antar masa produksi yang tidak berlangsung bersamaan menyebabkan ledakan hama, ujarnya.
Peralihan ke teknologi modern mempengaruhi aspek lingkungan lain, contohnya penggunaan pupuk pada air yang telah kaya nutrisi berarti pupuk tersebut akan larut ke sungai dan mengalir ke laut, kemudian memicu pertumbuhan ganggang yang menutupi dan membunuh terumbu karang.
Saat ini sistem pura air telah kembali digunakan, namun masalah yang disebabkan oleh penggunaan pupuk berlebihan masih terjadi.
Di Pulau Dewata sistem pura air yang diwariskan nenek moyang memungkinkan subak untuk mengatur kegiatan di sepanjang aliran sungai. Naskah leluhur dari raja-raja Bali di abad ke-XI menyebutkan tentang sistem subak dan pura air yang sebagian masih berfungsi sampai sekarang.
Sistem pengairan dianggap sebagai anugerah dari dewi penguasa danau yang terbentuk dari kawah. Setiap subak memberikan persembahan kepada para dewa dewi di pura air masing-masing.
Pura tersebut menjadi tempat bertemu bagi para petani guna memilih pemimpin dan membuat keputusan bersama tentang jadwal pengairan mereka.
Kelompok-kelompok subak yang memiliki sumber air yang sama membentuk perkumpulan pura air pada setiap wilayahnya di mana semua subak menyepakati jadwal tanam di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Melalui cara itu, setiap pura desa mengendalikan air yang mengalir ke teras sawah terdekat sedangkan pura wilayah mengendalikan air yang mengalir ke daerah yang lebih besar, ujarnya. (WRA)