Denpasar (Antara Bali) - Pementasan dramatari wayang wong, salah satu kesenian tradisional Bali, yang mempunyai unsur ritual dan emosional dalam kehidupan masyarakat Pulau Dewata,merupakan warisan sejak abad XVIII.
"Kedua unsur itu satu sama lain saling berkaitan, baik tari maupun instrumen pengiringnya (gamelan), sebagai ungkapan pengabdian yang tertinggi menghormati para leluhur," kata Ni Nyoman Kasih SST M.Si, dosen jurusan tari, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Minggu.
Ia melakukan penelitian dan pengkajian terhadap kesenian wayang wong atau wayang orang yang juga berkembang di sejumlah daerah di Nusantara.
Wayang wong merupakan satu cabang seni tari klasik dengan pelakunya melibatkan sejumlah seniman, yang menyuguhkan kolaborasi tari, tabuh, tembang dan drama.
Nyoman Kasih menjelaskan, pementasan wayang wong di Bali untuk melengkapi kegiatan ritual dalam agama Hindu yang dianut sebagian besar masyarakat setempat merupakan ungkapan bhakti dan "karma marga" untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu umat Hindu dalam menggelar kegiatan ritual berskala besar hingga saat ini masih mementaskan dramatari wayang wong. Pelaku dalam pementasan itu mengenakan topeng, berdialog dalam bahasa Jawa kuno (kawi).
Jenis kesenian, baik Wayang Wong Parwa maupun Wayang Wong Ramayana, hingga kini masih tergolong sakral, karena pementasannya khusus untuk kelengkapan upacara keagamaan.
Nyoman Kasih menambahkan, pementasan wayang wong mengandung arti simbolis, yakni makna filosofis tertentu.
Bahkan di Desa Mas, perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, pementasan wayang wong hingga kini dilakukan setiap enam bulan bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, rangkaian Hari Raya Galungan guna memperingati kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (keburukan).
Hasil penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, dengan teknik pengumpulan data dan observasi lapangan itu menunjukkan bahwa dramatari wayang wong berawal dari sekitar abad ke XVIII.
Pentas wayang wong di Desa Mas dengan upacara di Pura Taman Pule desa setempat mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga jenis kesenian itu dapat digolongkan sebagai tari wali (keagamaan).
Bentuk gerak dramatari wayang wong di Desa Mas kebanyakan berasal dari gerak tari gambuh, salah satu kesenian yang tergolong paling tua.
Instrumen pengiringnya berupa seperangkat gamelan antara lain dua buah kendang "kekrumpungan" (suara berbeda), empat buah gender wayang, sebuah kempur (kempul) dan satu tungguh (serangkaian) ceng-ceng.
Persepsi masyarakat Desa Mas terhadap keberadaan dramatari wayang wong sangat tinggi, sekaligus mempelajari dan melakoninya dengan baik dari satu generasi ke generasi berikutnya dan hingga kini kesenian tersebut dapat dilestarikan.
Masyarakat setempat sangat mendukung upaya pelestarian dramatari wayang wong dengan melatih anak-anak dan generasi muda serta adanya bantuan dalam bentuk peralatan maupun pembinaan dari Pemerintah Kabupaten Gianyar dan Pemprov Bali, tutur Ni Nyoman Kasih.(*)