Oleh Ni Luh Rhismawati
Pulau Dewata mendadak menjadi sepi bagai daerah tak bertuan, itulah yang terjadi setiap tahun saat pergantian Tahun Baru Saka atau yang umum dikenal sebagai Hari Suci Nyepi.
Bali sebagai daerah yang terkenal seantero negeri dibanjiri wisatawan, dalam waktu 24 jam seakan menjadi kota tanpa aktivitas. Tak ada bisingnya hilir mudik kendaraan, tak ada masyarakat yang berlalu lalang, tak ada lampu penerangan, hingga deru pesawat pun tak terdengar.
Sama dengan pelaksanaan Nyepi pada tahun-tahun sebelumnya, semua pintu masuk menuju Pulau Dewata pada Nyepi 12 Maret 2013 pun akan ditutup. Kondisi ini diharapkan akan menambah kekhusyukan umat Hindu di Bali untuk melaksanakan "Catur Brata Penyepian".
Secara umum dikatakan, umat Hindu pada saat Nyepi diharapkan dapat melaksanakan "Catur Brata Penyepian" yakni Amati Geni (tidak menyalakan api dan penerangan), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak bepergian) dan Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang).
Sampai di sanakah pemaknaan Nyepi? Ataukah Nyepi menjadi sebuah ritual tahunan yang identik dengan suasana keheningan semata?
Menurut rohaniwan Hindu Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, Nyepi hendaknya dimaknai sebagai upaya menjaga keseimbangan pendakian dan pendalaman hidup yakni berusaha memahami Tuhan dengan berbagai aspek ciptaannya baik dari jasmani dengan lingkungan maupun introspeksi diri.
"Ketika berbicara pendakian hidup, maka harus dimulai dengan memahami apa yang ada dalam diri. Paling tidak selama setahun ini mampukah kita melakukan komunikasi yang harmonis dengan sesama manusia dan memahami Tuhan secara benar?" ujarnya.
Ritual Melasti atau mengunjungi mata air dan dan Tawur Kesanga sebelum Nyepi, tuturnya, menjadi upaya yang dilakukan para orang tua untuk memberi pemahaman ritual dan alam sekitar. Hanya saja tidak dipungkiri permasalahan umat sering berhenti pada simbol ruang dan waktu.
Melasti sesungguhnya berarti ada unsur pendalaman karena diharapkan umat siap sebagai daur ulang yakni menerima segala sesuatu baik atau buruk yang akhirnya bermuara di laut. Jadilah lautan, lautan itu luas karena rendahnya sehingga bisa menampung banyak air, yang artinya pribadi manusia hendaknya bisa menerima yang baik dan buruk sebagai sebuah motivasi.
"Pecahnya konflik hal itu karena seringkali berbicara tentang pendakian tetapi tidak berbicara tentang pendalaman. Pendalaman ada konsep rendah hati layaknya lautan. Konflik terjadi ketika ada orang berbicara, hanya sedikit orang yang mau mendengar siapa yang berbicara dan apa yang dibicirakan. Yang namanya pendalaman, mari belajar melihat sesuatu yang terkomunikasikan kepada komunikan," ucapnya.
Sementara itu, jika dilihat dari bagian pelaksanaan Catur Brata Penyepian yakni "Amati Geni" artinya ketika manusia masuk pada proses pendalamanan, maka anasir-anasir fisik manusia sementara harus ditinggalkan. "Geni atau api adalah energi yang terpancar pada fisik kita. Tangan saja digosok akan panas. Belum lagi api yang disebabkan oleh pikiran kita yang menimbulkan emosi, itu dapat membakar segalanya," tuturnya.
Sedangkan kaitannya dengan Amati Karya, orang bisa bekerja karena adanya energi ini. Namun, kerja fisik tidak serta merta akan menghentikan kerja psikis. Itulah pendalaman yang mengantarkan umat mau sukses dan dunia spiritual.
"Amati Geni prinsipnya menghentikan api yang merusak dalam diri. Sampai Amati Lelanguan dan Lelungan yang maknanya untuk menolkan kepentingan indriawi dari fisik kita," ujarnya. Sehingga kata Mpu, dengan umat Hindu diajak menolkan pikiran berarti menuju posisi sentrum, itulah konsep keseimbangan.
Substansi Nyepi
Senada dengan rohaniwan Acharyananda, Gubernur Bali Made Mangku Pastika pun mengajak masyarakatnya untuk merenungkan substansi Nyepi dengan baik dalam memperingati datangnya Tahun Baru Caka 1935 itu.
"Nyepi dalam Agama Hindu merupakan waktu yang disiapkan Tuhan untuk melakukan kontemplasi diri, merenungkan apa yang diperbuat, yang baik dan yang buruk. Sekaligus diberi kesempatan untuk merencanakan masa depan kita karena memasuki tahun baru," katanya.
Konteks Nyepi, sebagai tekad untuk memperbanyak kebaikan. Tetapi sayangnya seringkali orang tidak memahami konteks ini dengan benar. Akibatnya, seringkali hal-hal yang seharusnya tidak boleh terjadi pada Nyepi malah terjadi, misalnya ada konflik banjar, saling serang dan sebagainya.
Mantan Kapolda Bali ini mengatakan Nyepi bukanlah sekadar tidak menyalakan api. Namun upaya yang mengingatkan umat Hindu agar tidak menyalakan hawa nafsu, marah, benci, dan dendam. Sifat buruk itu harus ditekan sedemikian rupa sehingga dapat menjadi manusia yang baik.
"Ada yang berjudi dari pagi sampai malam pada Nyepi itu sungguh keliru, karena seharusnya menjadi momen untuk kontemplasi diri," katanya.
Terkait dengan pengarakan ogoh-ogoh (boneka raksasa) sehari sebelum Nyepi, pihaknya tidak melarang karena itu selain bersifat simbolik sekaligus cermin kreativitas dan inovasi. "Tetapi tolong diingatkan maknanya yang merupakan simbol kejahatan yang harus ditinggalkan dalam menghadapi Nyepi," ucapnya.
Pastika juga menyayangkan pihak manajemen hotel di Bali tak sedikit yang telah mempunyai semangat wirausaha yang salah dengan menawarkan berbagai paket wisata Nyepi. Menurutnya salah jika mencari keuntungan untuk hal-hal kenikmatan hidup pada saat Nyepi karena itu menyalahi prinsip.
Mantan Kapolda Bali ini menambahkan kalau pihak hotel mau konsisten dan sadar, tentu tidak akan mempermasalahkan mengorbankan waktu satu hari dari 365 hari dalam setahun. Pengecualian dapat diberikan pada pihak rumah sakit karena itu terkait keselamatan jiwa manusia.
"Penyiaran saja sampai kami minta berhenti, apalagi jika hal seperti itu di hotel. Mudah-mudahan nanti ada kesadaran dari orang-orang yang melakukan itu dan mereka mengikuti kaidah-kaidah," katanya.
Bagi Pastika, jika Bali mau konsisten menerapkan pantangan dalam Catur Brata Penyepian, banyak dampak positifnya. "Kita bisa menghemat energi, udara menjadi bersih, dan Bali memberikan kontribusi pada dunia di bidang lingkungan walaupun hanya sehari," katanya.
Sebelumnya Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati juga menilai berbagai paket wisata Nyepi yang kerap ditawarkan pengelola hotel di Pulau Dewata masih belum mengena, bahkan menyimpang dari substansi hari raya Hindu itu.
"Kalangan hotel lebih banyak menawarkan paket makan dan acara rekreasi di hotel, sehingga substansi pemaknaan hari suci Nyepi belum mengena. Padahal dalam paket itu lebih baik mengangkat nuansa Nyepi sebagai suatu kegiatan yang hanya sekali dalam setahun dan hanya terjadi di Bali.
Misalnya wisatawan juga diberikan penjelasan dengan bahasa yang sederhana mengenai manfaat Nyepi terhadap lingkungan, ekologi dan sebagainya. Nilai ini yang harus dikedepankan. (LHS/IGT)
Nyepi Seimbangkan Pendakian dan Pendalaman Hidup
Minggu, 10 Maret 2013 13:50 WIB