Oleh I Ketut Atmadja
Denpasar (Antara Bali) - Bali sebagai pusat kegiatan pariwisata di Indonesia menjadi magnet bagi kegiatan usaha terutama yang bergerak di sektor industri kreatif dan sektor usaha pendukung kegiatan pariwisata.
Oleh sebab itu berbicara tentang pariwisata Bali tetap menjadi daya tarik semdiri, baik itu oleh pejabat, pengusaha maupun masyarakat Internasonal karena memiliki keunikan yang tiada taranya di dunia.
Masyarakat Internasional tertarik akan dunia pariwisata Bali berkat keindahan alam yang didukung seni dan budaya yang dimiliki masyarakatnya mampu memberikan kenyamanan.
Bagi investor tentu memiliki daya tarik tersendiri untuk mengembangan sector perpelancongan itu untuk bisa menarik keuntungan yang sebesar-besarnya karena ini usaha padat modal.
Sementara pejabat yang berupaya mensejahterakan masyarakat melalui dunia pariwisata hingga kini belum berhasil, akibat terjadi ketimpangan pembangunan yang dilaksanakan selama ini.
Tidak kurang dari Wakil Gubernur Bali AA Ngurah Puspayoga dalam suatu diskusi menyebutkan Pertumbuhan ekonomi yang ditunjang sektor pariwisata meningkat, ironisnya kemiskinan juga belum teratasi.
Pembangunan kepariwisataan sebenarnya dapat menjadi pintu masuk bagi kesejahteraan rakyat Bali, dengan kegemerincingan dolar yang dibelanjakan para wisatawan di daerah ini.
Namun bila pertumbuhannya mengabaikan keseimbangan antar wilayah dan sektor ekonomi maka justru akan mengakibatkan ketimpangan bagi kesejahteraan masyarakat Bali.
Sebagaimana dilansir data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali menunjukkan pembangunan yang digenjot selama ini, melahirkan pertumbuhan mengesankan sekira 6 persen lebih.
Meningkatnya pembangunan, harusnya dibarengi dengan semakin luasnya tercipta lapangan kerja dan pengangguran makin menurun, tetapi kenyataannya lain.
Puspayoga mengatakan, suka atau tidak suka, pertumbuhan yang meningkat tersebut tidak menghapuskan kemiskinan di Pulau Dewata bahkan angkanya masih ada sebanyak 161.000 jiwa yang berpredikat miskin hingga akhir 2012.
Menurutnya, hal itu terjadi karena kondisi selama ini dimana pertumbuhan sangat terpusat di Bali Selatan. Sementara daerah lain seperti Buleleng, Karangasem, Jembrana, Bangli dan Klungkung kurang mendapat perhatian.
Masih terpusatnya kegiatan pariwisata di wilayah Bali bagian Selatan menyebabkan pemanfaatan potensi wisata di kalangan pengusaha juga tidak merata.
Hal itu ditunjukkan oleh hasil survei Bank Indonesia terhadap 200 pengusaha di delapan kabupaten dan satu kota yang berada di wilayah Provinsi Bali pada akhir tahun 2012.
Angka penelitian itu menggambarkan bahwa 32 persen hasil kegiatan usaha pariwisata di Bali dinikmati oleh pengusaha di Kabupaten Badung, menyusul Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar, 21 dan 15 persen dan enam kabupaten sisanya di bawah sepuluh persen.
Kalangan pengusaha juga menyatakan bahwa sebagian besar wisatawan di Bali berkunjung di tiga destinasi utama yaitu Kabupaten Badung dengan wisata andalan Kuta dan Jimbaran. Kabupaten Gianyar dengan wisata andalan pusat perkampungan seniman Ubud dan sekitarnya serta wilayah Kota Denpasar sebagai pusat kegiatan ekonomi di Bali.
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi hasil kegiatan pariwisata disebabkan oleh perbedaan kemampuan daerah dalam mengembangkan destinasi wisata yang ada.
Disamping adanya perbedaan kondisi alam, kualitas SDM dan kebijakan pemda juga turut menyebabkan ketimpangan distribusi hasil kegiatan pariwisata.
Proporsi di atas menunjukkan bahwa pemerataan hasil kegiatan pariwisata dapat dilakukan dengan mengembangkan destinasi wisata di luar wilayah Bali Selatan dengan pembangunan jaringan infrastruktur yang memudahkan akses turis ke daerah-daerah itu.
Misalnya untuk Buleleng, Kata Puspayoga perlu mempercepat realisasi pembangunan jalan shortcut (lintas) Denpasar-Singaraja sambil menunggu pembangunan bandara yang direncanakan ada di Bali utara tersebut.
Untuk mempercepat mempersempit kesenjangan di dunia pariwisata tersebut tampaknya perlu segera dibuatkan peraturan daerah (perda) yang mengharuskan pelaku usaha jasa pariwisata turut memberdayakan masyarakat sekitar.
Perda yang disertai dengan kewajiban dan sanksi bagi pemilik modal yang berinvestasi dalam bidang pariwisata akan menjadi kekuatan untuk menekan investor agar kegiatannya tidak semata-mata hanya mengeruk keuntungan.
Perda yang mengatur investasi di sector pariwisata Bali penting untuk mempercepat pemerataan ucap Guru Besar Universitas Udayana (Unud) Prof Dr I Wayan Windia.
Menurut dia, dengan adanya perda itu, gubernur dan bupati/wali kota bisa mewajinkan pelaku pariwisata berperan dalam pemberdayaan masyarakat.
Upaya itu selain menyerap tenaga kerja lokal sesuai jenis keahlian yang diperlukan, juga dapat menampung produk pertanian yang dihasilkan petani setempat, sekaligus menghindari hasil pertanian impor.
"Jika Perda itu sudah diterapkan, bagi pengelola hotel dan restoran yang melanggar, langsung dikenakan sanksi, sesuai Perda, antara lain menyangkut izin dan restoran tersebut tidak diperpanjang kegiatan operasionalnya," ujar Prof Windia.
Dengan cara itu masyarakat akan mampu memberdayakan kehidupan masyarakat setempat tidak selama ini masih memiliki keluarga miskin yang angkanya masih banyak.
Masyarakat miskin itu juga tercatat di wilayah Kabupaten Badung, yang selama ini daerah itu memiliki belasan hotel berbintang dan puluhan restoran yang berjejer sepanjang pantai kawasan Nusa Dua, Jimbaran dan Kuta.
"Pembuatan Perda khusus itu perlu mendapat perhatian, mengingat pemerintah memiliki peran penting dalam persolan menyangkut petani yang selama ini selalu menjadi korban, karena harga produksi pertanian yang sangat murah," ujar Prof Windia. (IGT)