Denpasar (Antara Bali) - Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr I Nyoman Suarka menilai, semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang terpampang melengkung pada sehelai "pita" yang dicengkeram kedua kaki Burung Garuda terinspirasi dari buku Sutasoma karya gemilang Mpu Tantular.
"Wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di zaman kejayaan Kerajaan Majapahit itu melompat jauh ke depan, sehingga relevan terhadap perkembangan bangsa, negara serta meningkatkan harmonisasi kehidupan di Nusantara pada era global," kata Pembantu Dekan II Fakultas Sastra Universitas Udayana itu, Minggu.
Ia mengatakan hal itu ketika tampil sebagai pembicara pada Seminar Nasional bertema "Aktualisasi pemikiran cendekiawan Bali I Gusti Bagus Sugriwa tentang konsep Siwa Budha, upaya meningkatkan Harmonisasi kehidupan bangsa pada era global" di Bentara Budaya Bali di Jalan By Pass Ida Bagus Mantra, Ketewel, Kabupaten Gianyar.
Menurut dia, konsep Siwa-Buddha merupakan sebuah istilah keagamaan yang dicetuskan oleh Mpu Tantular dalam karya "Kekawin" berjudul "Kekawin Sutasoma", karya sastra Jawa kuno yang memakai lakon kisah Sutasoma model India.
Mpu Tantular dalam karya sastra itu memberikan warna khas Nusantara. Sebagai istilah keagamaan, Siwa-Buddha mengundang perhatian dan penafsiran para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Prof Suarka, guru besar jurusan Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Unud itu menjelaskan, pada prinsipnya Siwa-Buddha ditafsirkan para peneliti sebagai sebuah proses penunggalan antara agama Siwa dan agama Buddha (Mahayana).
Istilah tersebut dikemukakan para peneliti untuk menyebut proses penunggalan Siwa-Buddha sebagai pencampuran, perpaduan, peleburan atau kesejajaran.
Berbagai istilah itu mencerminkan proses penunggalan Agama Siwa dan Agama Buddha di Indonesia yang mengindikasikan bahwa, penunggalan Siwa-Buddha merupakan sebuah misteri.
Prof Suarka menambahkan, kemunculan berbagai istilah itu dapat dipahami sebagai hasil dari proses pemaknaan terhadap Siwa-Buddha sebagai sistem tanda, sejalan dengan pandangan, bahwa karya sastra memiliki tempat terbuka.
Tempat terbuka itu kemudian diisi oleh pembaca melalui proses konkretisasi, sehingga Siwa-Buddha dalam Kekawin Sutasoma dapat dipahami sebagai tempat terbuka, yakni tempat pembaca berdialog dengan teks.
Oleh sebab itu, dalam pembicaraan Siwa-Buddha dipandang sebagai faktor dominan dan dijadikan sebagai dasar pemahaman estetik dalam proses rekuperasi. Pada sisi lain dipahami sebagai sesuatu yang bersifat dinamik, tergantung pada pembaca menurut ruang dan waktu, ujar Nyoman Suarka.
Peneliti Sutasoma tersebut antara lain I Gusti Bagus Sugriwa (1956). Karya-karya sastra yang dihasilkan almarhum yang meninggal dunia 36 tahun silam, tepatnya 22 November 1977 merupakan salah seorang cendekiawan Bali pada abad 20 yang mempunyai pandangan dan pemikiran sangat luas.
Sosok pria itu semasa hidupnya berhasil menulis 68 judul naskah pada 115 publikasi diterjemahkan dalam sepuluh bahasa hingga kini menjadi koleksi 351 perpustakaan di dalam dan luar negeri. (*/T007)