Jakarta (ANTARA) - "Kalau mau maju itu ke depan, bukan ke belakang, karena masa depan itu ada di depan dan kita tidak berkompromi dengan masa lalu atau sejarah," begitu komentar seorang pejabat daerah yang menjadi peserta forum diskusi memperingati Hari Pahlawan 2023.
Komentar yang terkesan meremehkan sejarah tersebut tentu saja sangat menggelitik ketika disampaikan oleh seorang pejabat karena mengesankan kecenderungan ahistoris dan minim literasi.
Seorang pejabat, apa pun tingkatannya, mesti dapat memberikan contoh dan teladan, antara lain dengan memahami mengenai pentingnya sejarah.
Sejarah dapat memberikan wawasan dan pemahaman tentang masa lalu, yang dapat membantu kita memahami dunia saat ini dan mempersiapkan diri untuk masa depan.
Sejarah dapat membantu kita memahami sosial budaya masyarakat yang telah berubah dari waktu ke waktu. Dengan sejarah, kita dapat mempelajari bagaimana kejadian dan keputusan masa lalu membentuk dunia kita saat ini, serta belajar dari kesalahan yang dibuat di masa lalu agar tidak mengulanginya di masa depan.
Tanpa memahami sejarah, kita akan kehilangan identitas sebagai suatu kelompok/bangsa. Tanpa mempelajari sejarah kita akan terus mengulangi kesalahan di masa lalu, baik kesalahan yang dilakukan orang lain maupun kesalahan yang kita lakukan.
Jas Merah
Menyadari pentingnya sejarah, tidak mengherankan apabila dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-21 Republik Indonesia pada 17 Agustus 1966, Presiden Sukarno dalam pidato terakhirnya sebagai seorang kepala negara menyampaikan bahwa kita jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah perjuangan.
Melalui pidato yang sering dikenal sebagai "Jas Merah", Sukarno mengingatkan kembali bahwa Republik Indonesia telah mengalami 21 tahun perjuangan yang penuh dengan pengorbanan dan pencapaian. Namun, bangsa ini juga masih menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan pemahaman mendalam terhadap sejarah perjuangan Indonesia. Sukarno menjelaskan bahwa sejarah perjuangan adalah pelajaran berharga yang harus dipegang teguh oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sukarno mengajak semua warga Indonesia, terutama generasi muda, untuk memahami dan menghargai perjuangan para pahlawan dan pejuang kemerdekaan. Menurut Sukarno, menjaga kesadaran sejarah ini adalah kunci untuk menjaga semangat nasionalisme, patriotisme, dan semangat perjuangan dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.
Di tengah suasana peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 2023, yang mengambil tema "Semangat Pahlawan untuk Masa Depan Bangsa dalam Memerangi Kemiskinan dan Kebodohan", pesan Sukarno untuk jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah menjadi pesan yang penuh makna. Pesan yang berisi ajakan kepada generasi penerus bangsa untuk memaknai semangat para pahlawan yang telah berjuang dan mempertahankan nilai-nilai dan identitas bangsa.
Generasi penerus diajak belajar dari para pahlawan nasional dalam memperjuangkan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Mereka diajak untuk menemukan hakikatnya, yakni jiwa dan jati diri kepahlawanan, salah satunya dari peristiwa 10 November 1945, yang merupakan tanggal dan bulan bersejarah dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara. Ibarat seorang bayi harus bertarung dengan orang dewasa, begitulah metafora kisah di balik perang 10 November 1945 di Kota Surabaya itu.
Jiwa kepahlawanan sejatinya merupakan karakter seseorang yang patut diteladani, berupa pemikiran, sikap, dan tindakan dalam menjaga harkat dan martabat diri, kepentingan masyarakat, serta bangsa dan negaranya sesuai dengan empat konsensus berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
Semangat nilai-nilai kepahlawanan dan menjaga empat konsensus kebangsaan dalam sejarah perjuangan bangsa ini tidak akan pernah hilang. Bahkan harus berkembang dan bertransformasi seiring dengan modernisasi dan kemajuan zaman melalui penanaman nilai-nilai kepahlawanan kepada masyarakat, khususnya generasi penerus.
Pada masa Orde Baru, nilai-nilai kepahlawanan diberikan melalui jalur pendidikan, yakni melalui Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Pendidikan Pancasila. Namun seiring dengan berkurangnya pembelajaran sejarah perjuangan bangsa dan dihapuskannya Pendidikan Pancasila sejak Reformasi 1998, maka pemahaman generasi muda akan sejarah perjuangan bangsa dan Pancasila menjadi sangat lemah.
Hal ini tampak dari hasil survei Setara Institute dan Forum on Indonesian Development (INFID) yang disampaikan pada Mei 2023 mencatat 83,3 persen siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) menganggap Pancasila bukan ideologi permanen dan bisa diganti.
Penguatan pendidikan Pancasila
Oleh karena itu, untuk mengembalikan pemahaman generasi penerus akan pentingnya sejarah perjuangan bangsa dan empat konsensus kebangsaan, dipandang perlu untuk kembali melakukan penguatan pembelajaran sejarah dan pendidikan Pancasila untuk menumbuhkan kearifan dalam diri generasi penerus.
Belajar sejarah dan empat konsensus kebangsaan, khususnya Pancasila, bukan sekadar membaca dan mengetahui suatu peristiwa, melainkan juga mengambil hikmah dari setiap peristiwa, sehingga akan timbul kesadaran kolektif untuk menuju masa depan bangsa yang lebih gemilang.
Menyikapi hal tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Melalui PP 4 tahun 2022 ini, salah satu hal yang sangat penting adalah dikembalikannya Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di bangku pendidikan formal.
Untuk menindaklanjuti PP 4 Tahun 2022 tersebut, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kemudian secara bersama-sama merevisi capaian pembelajaran dan arah tujuan pembelajaran pendidikan Pancasila sesuai dengan Implementasi Kurikulum Merdeka serta menyusun dan menerbitkan Buku Teks Utama (BTU) Pendidikan Pancasila.
Dalam BTU Pendidikan Pancasila yang sudah dapat dipergunakan pada tahun 2023 ini, terdapat empat elemen materi pembelajaran Pancasila, yaitu Pancasila, UUD NRI 1945.
Tidak cukup dengan penyusunan BTU Pendidikan Pancasila, BPIP dan Kemendikbudristek juga sedang menyusun modul ajar yang sesuai dengan capaian dan arah tujuan pembelajaran serta BTU Pendidikan Pancasila. Lebih jauh, BPIP, bersama-sama dengan Kemendikbudristek dan Kementerian Dalam Negeri mendorong dilakukannya penguatan pengetahuan dan pemahaman sejarah, khususnya sejarah kelahiran dan perumusan serta penetapan Pancasila sebagai dasar negara.
Kerja sama lintas kementerian atau lembaga ini merupakan hal penting, bukan saja sebagai bentuk gotong royong aktual, tetapi juga memberikan dan menunjukkan keteladanan ke masyarakat dan generasi muda. Bahwa penanaman nilai-nilai kepahlawanan tidak dapat dilakukan sendiri, namun harus melalui gotong royong.
Seperti kata Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945, gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.
*) Aris Heru Utomo adalah Direktur Pengkajian Materi Pembinaan Ideologi Pancasila Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
Editor: Masuki M.Astro
Telaah - Pahlawan, sejarah, dan keteladanan
Oleh Aris Heru Utomo *) Jumat, 10 November 2023 13:07 WIB