Tabanan (ANTARA) - Bali identik dengan kearifan lokal dan sangat kental dengan asas gotong royong. Salah satu budaya ikonik dan masih lestari hingga saat ini adalah Subak, organisasi tradisional bidang pertanian, yang merupakan warisan budaya dari zaman dahulu.
Berdasarkan Peraturan Daerah Bali No.02/PD/DPRD/1972, Subak didefinisikan sebagai masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai organisasi penguasa tanah dalam bidang pengaturan air dan lain-lain untuk persawahan dari suatu sumber air di dalam suatu daerah.
Sejak didirikan dan berkembang hingga kini, Subak masih berpegang pada jati diri dengan ciri khas kemandirian atas landasan “Paras-Paros Sarpa Naya Selulung Subayan Taka” yang berarti saling memberi dan menerima atau berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
“Jadi Subak ini diartikan sebagai sebuah organisasi sosial yang mengatur sistem irigasi secara tradisional yang sudah turun temurun dilaksanakan di Bali, yang mana sistem dari Subak itu sendiri didasari oleh konsep Tri Hita Karana,” ujar kepala UPTD Museum Subak, Si Putu Putra Eka Santi di Tabanan.
Tri Hita Karana didefinisikan sebagai tiga penyebab terciptanya kebahagiaan, yang unsur-unsurnya terdiri dari parhyangan, merupakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. pawongan adalah hubungan yang harmonis antarsesama manusia, serta palemahan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alamnya.
Sebuah Subak merupakan satu sistem dalam satu kesatuan yang utuh. Dalam membangun kesatuan sistem, sebuah Subak ada unsur pokok yang menjadi dasarnya, yakni unsur-unsur yang ada dalam Tri Hita Karana.
Untuk menjaga keseimbangan hubungan ketiga unsur tersebut, Subak membuat peraturan yang disebut dengan awig-awig dan paswara/pararem. Awig-awig merupakan peraturan dasar dan paswara/pararem merupakan peraturan pelaksanaan sebagai kelengkapan awig-awig.
Jika dikaitkan antara unsur Tri Hita Karana dengan sistem Subak, maka unsur parhyangan merupakan pura subak, seperti Pura Ulunsari, Pura Ulun Empelan, dan Pura Bedugul. Unsur Pawongan, yaitu seluruh anggota Subak dan yang terikat dalam kesatuan masyarakat (organisasi) serta unsur palemahan itu merupakan wilayah Subak sebagai satu kesatuan sumber air, tempat para anggotanya melakukan aktivitas.
Sumber air yang digunakan untuk irigasi sawah, salah satunya berasal dari air danau. Di samping air danau, sumber air juga bisa bersumber dari hujan, sungai, maupun air bawah tanah. Dari sumber tersebut, air akan mengalir melalui aliran sungai kecil menuju sebuah air terjun yang kemudian ditampung pada sebuah bendungan air (dam). Di ujung dam terdapat sebuah terowongan. Dari terowongan tersebut air akan dialirkan di bawah tanah menuju ke persawahan.
Dalam Subak ini ada seorang yang memimpin, dikenal dengan sebutan pekaseh/kelihan Subak, mempunyai wakil yang disebut dengan pangliman/petajuh, sekretaris (penyarikan), bendahara (petengen/juru raksa), serta juru arah yang merupakan seorang penyampai pesan atau memberikan informasi kepada anggota Subak.
Untuk mempertahankan kelestarian dan menjadi sarana edukasi bagi generasi ke depan terkait Subak (sistem pertanian di Bali), Gubernur Bali (1978-1988) Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menggagas pendirian Museum Subak, lokasinya di Desa Sanggulan, Kabupaten Tabanan.
Tabanan dipilih sebagai lokasi berdirinya Museum Subak karena daerah itu memiliki jumlah Subak terbanyak dan memiliki areal pertanian yang luas serta merupakan lumbung padinya Bali.
Koleksi Museum
Museum Subak yang terletak di Tabanan diresmikan oleh Gubernur Bali saat itu, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra pada tanggal 13 Oktober 1981.
Sari, seorang pemandu wisata di Museum Subak, menjelaskan bahwa di dalam ruang pameran museum itu terdapat sekitar 250 koleksi alat pertanian tradisional, yaitu alat yang difungsikan untuk pembukaan lahan hingga menjadi nasi yang siap untuk dimakan.
Di dalam museum juga terdapat patung Dewi Sri, yang merupakan simbol dari dewi padi atau dewi kesuburan. Setiap upacara yang dilakukan di persawahan itu ditujukan kepada Dewi Sri untuk memohon kesuburan pada area persawahan.
Selain patung Dewi Sri, terdapat juga patung Rare Angon yang merupakan manifestasi dari Dewa Siwa yang turun ke Bumi untuk mengajarkan petani bagaimana cara bercocok tanam yang baik.
Di Museum Subak juga terdapat replika pembagian dari air irigasi. Untuk membagi air tersebut, ada sebuah alat yang disebut Tembuku, dapat dianggap sebagai sekat ukur, tetapi dalam bentuk yang sederhana.
Setiap anggota aktif mendapat hak yang sama, yaitu satu porsi air. Satu porsi mempunyai istilah berbeda-beda untuk setiap Subak. Ada yang mengistilahkan satu tektek, satu kecoran, satu tanding. Satuan dasar pembagian air bagi Subak adalah tektek, yaitu dalam Bahasa Bali memiliki arti cecah atau ukuran lebar suatu alat pembagian air yang terbuat dari batang kayu.
Di sana juga terdapat koleksi miniatur rumah tradisional petani Bali untuk satu keluarga. Bangunan tersebut dibuat berdasarkan Asta Kosala-Kosali, yang merupakan pengetahuan arsitektur tradisional Bali yang berisi cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci yang ada di Bali sesuai dengan landasan filosofis, etis, dan ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.
Kunjungan
Untuk bisa melihat beragam koleksi yang terdapat pada ruang pameran Museum Subak, pengunjung bisa berkunjung pada hari Senin sampai dengan Kamis di jam 08.00 – 15.30 Wita dan pada Jumat jam 08.00 – 12.30 Wita. Penentuan hari dan jam itu disesuaikan dengan jam kerja dari Pemkab Tabanan mengingat pengelola Museum Subak itu sendiri merupakan ASN Pemkab Tabanan.
Semenjak dibuka, Museum Subak banyak dikunjungi oleh wisatawan dari mancanegara maupun domestik, serta terdapat juga kunjungan dari pelajar dan juga masyarakat umum.
Kepala UPTD Museum Subak Si Putu Putra Eka Santi mengungkapkan bahwa yang berkunjung ke Museum Subak ini berasal dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan muda hingga lanjut usia. Bagi kalangan muda, Museum Subak dijadikan sebagai wadah untuk menggali nilai-nilai sejarah yang ada pada zaman dahulu melalui koleksi yang dipamerkan. Bagi kalangan lanjut usia, Museum Subak juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk bernostalgia.
Museum Subak ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik pada saat hari-hari libur sekolah, pertengahan tahun, dan akhir tahun. Sementara wisatawan mancanegara disesuaikan dengan iklim, situasi, dan kondisi di negara asal mereka.
Harga tiket masuk ke Museum Subak per orang, untuk wisatawan asing dewasa Rp15 ribu dan anak-anak Rp10 ribu, sedangkan untuk wisatawan domestik dewasa Rp10 ribu dan anak-anak Rp5 ribu.
Museum Subak menjadi sarana bagi generasi selanjutnya untuk mengenal bagaimana sistem dari Subak itu, mengenal berbagai macam alat pertanian yang digunakan oleh petani Bali dari dulu hingga kini. Tujuannya agar kearifan lokal secara turun temurun dapat dilanjutkan dan dilestarikan sehingga apa yang dulunya telah dirintis tidak punah.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Wisata edukasi di Museum Subak Tabanan Bali