Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bunga kredit bisa turun apabila bank atau lembaga pembiayaan mengantongi informasi yang cukup terkait calon debitur.
“Kalau suatu bank atau lembaga pembiayaan punya informasi cukup, dampaknya bunga bisa turun. Maka dari itu penting sekali kami mengembangkan infrastruktur informasi kredit,” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara dalam seminar internasional terkait penilaian kredit di Nusa Dua, Bali, Jumat.
Ia menambahkan apabila bank atau lembaga pembiayaan tidak memiliki cukup informasi dari debitur, bunga kredit yang diberikan diperkirakan akan tinggi sebagai salah satu bentuk mitigasi risiko kredit.
“Kalau bank atau lembaga pembiayaan informasinya tidak cukup, yang dilakukan apa ? Diberi bunga yang tinggi,” ucapnya.
Baca juga: Wamenkeu ungkap lima sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia
Namun, ia tidak menyebutkan batasan bunga tinggi atau pun penurunan bunga kredit terkait kecukupan informasi debitur.
Saat ini, informasi kredit dari calon debitur dihimpun dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang ada di OJK atau sebelumnya bernama BI-Checking yang dimiliki di Bank Indonesia (BI).
Informasi kredit di SLIK mencakup informasi dari perbankan dan lembaga pembiayaan.
Selain itu, ada juga layanan penilaian kredit oleh dua jenis entitas, yaitu Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) sebagai Biro Kredit Konvensional, dan penyedia Penilaian Kredit Inovatif (ICS) yang berbasis digital.
Biro Kredit Konvensional menyediakan laporan dan penilaian kredit berdasarkan data kredit tradisional, seperti riwayat pembayaran pinjaman dan utang yang belum lunas.
Baca juga: OJK bidik penyaluran kredit di atas 35 persen dari PDB
Sementara itu, ICS merupakan bentuk penilaian yang lebih baru yang menggunakan sumber data alternatif untuk menilai kelayakan kredit.
Sumber baru penilaian kredit di antaranya aktivitas calon debitur di media sosial, transaksi daring dan penggunaan telepon seluler.
ICS sebagian besar digunakan oleh lembaga pembiayaan berbasis teknologi keuangan (fintech) di antaranya aplikasi yang mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman atau peer to peer (P2P) lending.
Mirza mengharapkan baik biro kredit dan penilaian kredit dengan sistem berbasis digital itu bisa berkolaborasi untuk mendukung dan menumbuhkan kredit yang sehat karena realisasi kredit di Tanah Air baru mencapai sekitar 35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Capaian itu, kata dia, masih jauh lebih rendah dibandingkan Thailand yang sudah mencapai sekitar 70 persen dari PDB.
Untuk itu, ia menilai masih banyak ruang yang dapat dikembangkan oleh lembaga jasa keuangan untuk penetrasi kredit lebih besar.
Berdasarkan data OJK, realisasi kredit perbankan di Tanah Air pada Desember 2022 mencapai Rp6.424 triliun atau melonjak 11,35 persen jika dibandingkan periode sama 2021 mencapai Rp5.482 triliun.
Capaian realisasi kredit 2022 itu diperkirakan sekitar 35 persen dari total PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp19.588,4 triliun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022.