"Ada dua alasan penting mengapa reformasi subsidi harus tetap dilakukan," ucap Habib dalam acara Peluncuran Laporan "Indonesia Economic Prospects June 2022" secara daring di Jakarta, Rabu.
Ia menuturkan alasan pertama adalah subsidi sebagian besar menguntungkan rumah tangga kelas menengah dan atas lantaran rumah tangga tersebut mengonsumsi solar bersubsidi dan LPG bersubsidi dalam porsi yang besar.
Jika kedua subsidi ini diganti dengan transfer sosial yang ditargetkan untuk masyarakat miskin, rentan, dan kelas menengah, pemerintah dapat memiliki tambahan 0,6 persen dari produk domestik bruto (PDB) untuk belanja prioritas pembangunan.
"Keputusan terbaru untuk menaikkan harga bahan bakar tertentu dipersilakan. Namun hal tersebut hanya akan berdampak kecil pada subsidi," tegasnya.
Habib menyebutkan pula alasan kedua untuk mengadvokasi reformasi subsidi, yaitu pemberian subsidi energi hanya bersifat sementara dalam menahan inflasi, sehingga diperlukan pemikiran rencana keluar atau exit plan yang bertahap dan terukur.
Pertumbuhan ekonomi
Selain itu, Bank Dunia mencatat terdapat kemungkinan ekonomi Indonesia tumbuh melambat menjadi 4,6 persen di tahun 2022 dan hanya 4,7 persen pada tahun 2023 dalam skenario penurunan ekonomi global.
Lembaga dunia yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,1 persen pada 2022 dan 5,3 persen di 2023.
Bank Dunia menyebut kondisi ekonomi global berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di antaranya, tekanan inflasi yang tinggi akan memaksa realokasi anggaran fiskal dari belanja dalam mendukung pertumbuhan ekonomi ke belanja subsidi tanpa target.