Surabaya (ANTARA) - Nasionalisme Presiden RI pertama Soekarno atau Bung Karno mulai tumbuh dari sebuah kampung di Surabaya yakni saat indekos di rumah H.O.S Tjokroaminoto Jalan Peneleh Gg. VII No.29-31, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Jatim.
"Selama tahun 1916 - 1921 itu adalah masa keemasan Soekarno, karena pada saat itu lah jiwa dan kepribadian Soekarno diasah di Kota Surabaya," kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Purnawan Basundoro saat memperingati Juni Bulan Bakti Bung Karno di Surabaya, Rabu (15/6/2022).
Menurut dia, kisah perjalanan Bung Karno itu bukan sekadar soal kegigihan perjuangan hidup dan romantisme saja, akan tetapi ada pula kisah semangat nasionalisme yang tinggi di dalam jiwanya.
Purnawan menjelaskan secara rinci, bagaimana Soekarno melawan ketidakadilan yang terjadi di nusantara selama zaman pendudukan Belanda. Sikap dan semangat juang tinggi Soekarno itu dilatarbelakangi oleh sosok Tjokroaminoto dan kota kelahirannya Surabaya.
"Di awal abad ke 20, selama Soekarno tinggal bersama di indekos di rumah Tjokroaminoto dan menganggap Kota Surabaya adalah sebagai dapur dari nasionalisme. Artinya, di Surabaya itu lah, pemikiran mengenai nasionalisme Sukarno terbentuk, semangat juang melawan pendudukan Belanda di Surabaya," kata dia.
Baca juga: Gubernur Koster: Peringatan Bulan Bung Karno arusutamakan Pancasila
Purnawan mengatakan, di rumah Tjokroaminoto, insting politik Soekarno terbentuk, hal itu juga diungkap di dalam buku karya Cindy Adams. Di dalam buku yang sama, dituliskan Tjokroaminoto sendiri lah yang mengenalkan kepada Soekarno kepada para tokoh pergerakan yang hilir mudik masuk ke rumahnya saat itu.
Dengan demikian, pandangan Soekarno di usia remaja sangat banyak dan kaya ilmu pengetahuan dari berbagai segi ideologi.
Purnawan melanjutkan, saat itu Soekarno juga menulis soal rumah Tjokroaminoto yang menjadi dapur nasionalismenya. Bahkan, saat itu Soekarno juga sempat menuangkan ide dan gagasan yang ada di kepalanya melalui media cetak Oetoesan Hindia yang dimiliki oleh Tjokroaminoto.
"Bung Karno mengakui, saat di Surabaya ia menulis tidak kurang dari 500 tulisan yang dimuat di surat kabar. Di rumah Tjokroaminoto itu pula Seokarno mengenal Alimin, Muso, Semaun dan SM Kartosuwiryo yang memiliki ideologi berbeda-beda," kata dia.
Baca juga: Sejarawan: KH Wahab Chasbullah miliki kedekatan dengan Bung Karno
Di usianya yang ke 20 tahun, Seokarno sudah matang secara politik dan ideologi, sehingga pada saat itu Soekarno menemukan ideologinya sendiri yaitu Marhaenisme yang melambangkan kepribadian nasional.
Media massa Fikiran Rakjat tanggal 1 Juli 1932 Nomor 1 tertulis, Marhaen adalah ideologi yang meliputi kelompok miskin Indonesia, baik buruh atau bukan, termasuk petani miskin yang tidak bekerja untuk siapapun melainkan hanya untuk sehari-harinya.
"Secara detail, di dalam buku Adams 2014: 90 tertulis, Marhaenisme merupakan Sosialisme Indonesia, gabungan dari Nasionalisme, Agama, dan Marxisme yang ditambah dengan Gotong Royong," kata Purnawan.
Pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan lima prinsip dasar negara, yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
"Di saat itu Bung Karno menggali nilai-niai Pancasila. Tujuannya adalah untuk menggalang negara baru merdeka untuk saling membantu negara yang masih terjajah, selain itu, dia tidak ingin Indonesia tercerai-berai dan ingin bangsanya mandiri, berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan," kata dia.
Buku dan Film
Sementara itu, penggiat sejarah dari Komunitas Begandring Soerabaia menyiapkan pembuatan buku "Bung Karno Lahir di Surabaya" dan film dokumenter "Putra Sang Fajar" dalam rangka Juni Bulan Bung Karno di Kota Surabaya, Jawa Timur.
"Kami sudah ngobrol gayeng dengan para tokoh untuk persiapan menyusun buku 'Bung Karno Lahir di Surabaya'," kata Koordinator Komunitas Begandring Soerabaia Kuncarsono.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga telah menyiapkan pembuatan film dokumenter "Putra Sang Fajar", sebutan lain dari Bung Karno yang lahir di Pandean Gang IV D Nomor 40 Kota Surabaya pada 6 Juni 1901.
Tidak hanya itu, kata Kuncar, pihaknya juga mengusulkan peringatan Bulan Bung Karno tahun depan bisa dimeriahkan dengan Festival Peneleh. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut kaya dengan ragam budaya masyarakat.
Baca juga: Sejarawan: Bung Karno inginkan Islam di Indonesia lebih maju
Untuk menindaklanjuti rencana tersebut, Kuncar mengatakan Begandring Soerabaia menggelar kegiatan ngobrol gayeng alias cangkrukan yang membahas Bung Karno lahir di Surabaya pada Sabtu (4/6) malam di Kafe Lodji Besar, kawasan Jalan Peneleh, Surabaya. Kegiatan tersebut sekaligus dalam rangka memperingati Hari Lahir Presiden Soekarno pada 6 Juni.
Hadir dalam cangkrukan itu antara lain Ketua Panitia Nasional Bulan Bung Karno yang dibentuk DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Parera, mantan Wali Kota Surabaya Bambang DH yang kini anggota DPR, mantan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana, Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono, dan dua anggota DPRD Kota Surabaya Budi Leksono dan Khusnul Khotimah.
Menurut Kuncar, ditemukannya rumah kelahiran Bung Karno atas peran besar Bambang Dwi Hartono saat menjabat Wali Kota Surabaya 2002-2010 dan almarhum Peter A. Rohi yang dikenal sebagai wartawan senior dan kala itu memimpin Soekarno Institute.
"Kami berutang budi pada Pak Bambang DH dan almarhum Pak Peter A. Rohi yang melakukan penyelidikan dan riset tempat lahir Bung Karno di Surabaya," ujar Kuncar.
Mendapati hal itu, Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono mendukung penuh upaya menulis buku dan film dokumenter tentang Soekarno yang lahir di Surabaya karena masih banyak masyarakat yang menganggap Bung Karno lahir di Blitar. "Jadi sejarah harus diluruskan, selurus-lurusnya," kata Adi.
Baca juga: Hasto: Pemahaman geopolitik Bung Karno relevan untuk Indonesia jaga perdamaian dunia
Bambang DH sebelumnya mengatakan, penemuan fakta Soekarno lahir di Surabaya semula dipicu oleh pernyataan almarhum Roeslan Abdulgani, sahabat Bung Karno dan mantan Menteri Luar Negeri, yang asli kelahiran Kampung Peneleh.
"Pak Roeslan mengatakan pada saya, bahwa Bung Karno lahir di Surabaya. Kemudian Pak Peter A. Roni yang waktu itu melakukan riset dan penelitian, memperkuat dengan data dan fakta di antaranya berdasar kesaksian data sekunder. Sampai ditemukan rumah kecil di Pandean Gang IV Nomor 40," kata Bambang DH.
Sementara itu, Andreas Hugo Parera mengatakan upaya menulis buku dan membuat film tentang Kampung Peneleh dan rumah Bung Karno adalah gagasan bagus sekali agar disajikan deskripsi yang lengkap, detail, dan menjadi kebanggaan masyarakat.
"Kami angkat kawasan ini sebagai destinasi wisata,” kata Andreas.
Hal sama juga dikatakan Whisnu Sakti Buana. Dia mengatakan, sebagai generasi muda harus bangga Bung Karno lahir di Surabaya. Bahwa Bung Karno adalah arek Suroboyo sudah dideklarasikan pada 2010, saat peringatan Juni Bulan Bung Karno.
Baca juga: Wali Kota Surabaya: Teladani Bung Karno
Pandean Gang IV adalah salah satu kampung di Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Rumah kelahiran Bung Karno di Jalan Pandean Gang IV Nomor 40 telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Rumah kelahiran Bung Karno dibeli dari penghuni oleh Pemerintah Kota Surabaya, sewaktu Wali Kota Tri Rismaharini. Kunci rumah telah diserahkan ahli waris pada 17 Agustus 2020 atau tepat pada Hari Kemerdekaan Indonesia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Penggiat sejarah di Surabaya siapkan pembuatan buku-film Bung Karno
Nasionalisme Bung Karno tumbuh dari Rumah Tjokroaminoto
Oleh Abdul Hakim Kamis, 16 Juni 2022 11:18 WIB