Oleh I Ketut Sutika
Tek.. tek .. tek.. bunyi yang timbul dari ratusan bahkan ribuan tongkat kayu saat digabungkan menjadi satu dalam kegiatan ritual mekotek, tradisi masyarakat Desa Pekraman (Adat) Munggu, Kabupaten Badung, Bali pada hari raya Kuningan, Sabtu (8/9).
Hari raya Kuningan merupakan rangkaian hari raya Galungan. Kegiatan tersebut melibatkan seluruh warga adat Canggu usia 13 tahun keatas, masing-masing mengenakan busana adat Bali, sambil membawa tongkat kayu pulet sepanjang 3,5 meter.
Saat ratusan bahkan ribuan tongkat itu bersatu pada ujungnya, yang pada bagian bawahnya tetap dipegang oleh masing-masing yang membawanya, seorang bahkan lebih mencoba untuk memanjat hingga keujung tongkat.
Saat sejumlah orang memanjat tongkat yang diiringi dengan alunan instrumen musik tradisional gong blaganjur yang bertalu-talu itulah terjadi atraksi yang unik, menarik sekaligus menegangkan.
Puluhan anak-anak muda memang berebut untuk memanjatnya, sehingga yang memegang tongkat tidak kuat menahan beban puncak yang terlalu berat, sehingga yang memanjat jatuh.
Korban yang jatuh itu oleh ratusan pemegang tongkat bisa diatur atas komando seseorang, sehingga mereka yang berhasil naik ke atas tongkat dikerjain untuk dijatuhkan di saluran irigasi subak yang ada di desa sekitarnya.
Korban yang merasa dipermainkan itu tidak merasa marah, justru diantara mereka, termasuk penonton tampak riang gembira sambil bersorak-sorak -- mekotek.. mekotek.. mekotek.
Kegiatan itu dipercaya sebagai penolak bala yang digelar sejak tahun 1932 atau 80 tahun silam hingga sekarang tetap lestari, digelar secara berkesinambungan setiap 201 hari saat hari Suci Kuningan.
Ida Bagus Gede Mahadewa, salah seorang tokoh masyarakat setempat menuturkan, kegiatan makotek merupakan tradisi yang dilakukan setiap hari raya Kuningan serta dipercaya dapat menjauhkan diri dari segala bentuk bencana.
Tradisi itu diwarisi secara turun temurun, namun pernah ada bencana dan kegiatan mekotek itu ditiadakan, tapi kemudian menyusul ada bencana menimpa warga, bahkan secara tiba-tiba belasan orang warga meninggal.
Adanya musibah yang tidak diinginkan itu, tradisi mekotek kembali digelar masyarakat setempat, namun alat yang digunakannya diubah dari tadinya tombak menjadi kayu atau tongkat.
Kegiatan tradisi itu sekaligus memperingati kemenangan Kerajaan Mengwi saat perang melawan kerajaan Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Tradisi itu disebut makotek berawal dari suara kayu-kayu yang saling bersentuhan dengan kayu-kayu lainnya saat disatukan menjadi bentuk gunung yang menyudut ke atas.
Peserta yang umumnya pria dari umur 13-60 tahun sebelumnya melakukan persembahyangan bersama di Pura Luhur Sapuh Jagat desa Munggu, berakhir dengan permercikkan air suci (tirta) hasil redaman keris pusaka di tempat suci tersebut.
Larangan
Warga masyarakat yang salah seorang anggota keluarganya meninggal sebelum tiga hari (cuntaka) tidak diizinkan ikut dalam mekotek. Demikian pula istrinya yang baru saja melahirkan.
Semua larangan itu harus dipatuhi warga. Meski cukup berbahaya karena banyak peserta terjatuh dari ujung kayu atas, namun tradisi itu tetap dinilai menyenangkan, sehingga semakin banyak pemuda yang berkali-kali mencoba untuk naik, di tengah iringan suara gamelan balaganjur yang bertalu-talu.
Ni Made Wiryani mahasiswa Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, dalam menempuh ujuan akhir (S-1) pernah melakukan penelitian dan pengkajian terhadap tari Mekotek dalam upacara Ngerebeg di Desa Munggu.
Hasil penelitian yang mengantarkan dirinya meraih S-1 dalam bidang seni itu mengungkapkan, tradisi mekotek diwarisi masyarakat Munggu sejak zaman penjajahan Belanda.
Fungsi tari mekotek sebagai tari wali untuk mengiringi upacara Ngerebeg di Pura Luhur Jagat Desa Munggu yang hingga kini tetap lestarikan diwarisi dari satu generasi ke generasi lainnya.
Seni pertunjukan Bali dalam perkembangannya menjadi bagian ritus sosial, ekonomi dan estetik, disamping tetap untuk seni persembahan, melengkapi kegiatan ritual di berbagai tempat suci yang digelar masyarakat setempat.
Persembahan seni secara tulus itu menjadikan Bali tiada hari tanpa bunyi gamelan dan orang menari, termasuk pada hari Raya Galungan dan Kuningan. Selama sepuluh hari antara Galungan dan Kuningan sekaa kesenian barong melakukan pementasan keliling (ngelawang), tutur Ni Made Wiryani.(LHS)