Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Jegog, instrumen musik tradisional khas Kabupaten Jembrana, Bali barat itu terbuat dari bambu ukur besar sanggup melahirkan aneka jenis kreasi baru dalam bidang tari, tabuh dan gending-gending yang mampu membangkitkan gairah masyarakat berkesenian.
Alunan instrumen musik yang merdu itu semakin mendapat tempat di hati masyarakat Pulau Dewata, terbukti di samping panggung kehormatan setiap pembukaan Pesta kesenian Bali (PKB), aktivitas tahunan seniman Pulau Dewata, Jegog dipercaya mengiringi atraksi budaya.
Keindahan jegog mendayu-dayu, keras dan sayup-sayup itu, sanggup memberikan semangat terhadap kehidupan umat manusia, khususnya setiap penonton yang menyaksikan, termasuk wisatawan mancanegara.
Bahkan kesenian jegog dalam perkembangannya sudah mendunia, karena Sekaa (grup) Jegog Suar Agung dari Jembrana pimpinan Ketut Suwentra (64) hampir setiap tahun mengadakan lawatan ke Jepang dan negara di belahan dunia lainnya.
Keunikan dan kekhasan pada musik Jegong yang berkembang hampir di seluruh banjar, baik di pedesaan dan kota di Kabupaten Jembrana mendorong Pemkab setempat untuk mendaftarkan ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia.
Wakil Bupati Jembrana I Made Kembang Hartawan menuturkan, pihaknya masih membahas proses pendaftaran melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk selanjutnya bisa ke badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selain itu juga muncul wacana untuk mendapatkan hak paten, karena seniman Jegog mulai dilanda keresahan, karena daerah lain juga memunculkan kesenian serupa.
Sebagai persiapan terhadap usulan tersebut, Pemkab Jembrana menggelar Festival Jegog 73 dari 100 perangkat instrumen jegog yang ada di banjar-banjar Bali barat, di Kota Negara, 85 km barat Denpasar pekan lalu.
Sedikitnya 3.000 orang berjoget massal atau "mengibing", termasuk Wakil Gubernur Bali Drs AAN Puspayoga dan Bupati Jembrana Putu Artha dengan diiringi musik tradisional Jegog.
Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif, Prof Dr Gede Pitana sangat mendorong pendaftaran Jegog ke UNESCO.
Badan PBB yang menangani pendidikan dan kebudayaan itu awal Juni 2012 menetapkan kawasan Jatiluwih Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan, Pura Taman Ayun Mengwi, Kabupaten Kabupaten Badung, Daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan Kabupaten Gianyar dan Pura Ulundanu Batur, Kabupaten Bangli yang merupakan satu kesatuan menjadi warisan budaya dunia.
Pengakuan dunia internasional itu diharapkan menyusul musik jegong dan pengiringnya tari mekepung.
Seabad lalu
Kesenian jegog yang berkembang hampir di seluruh pelosok pedesaan Kabupaten Jembrana, diperkirakan berkembang sejak tahun 1912, berawal dari Desa Sebual, di di daerah ujung barat Pulau Bali.
Nang Gliduh (alm) adalah pencipta kesenian Jegog pada tahun 1912, disusul Pan Natil alias "Kiyang Jegog" dari Desa Delodbrawah pada tahun 1920, kemudian disusul adanya sekaa jegog di Pohsanten bersamaan dengan di Desa Mendoyo Kangin pada tahun 1940 dan di Desa Tegal Cangkring pada tahun 1940.
Penciptakan kreativitas seni tabuh itu, Nang Gliduh, konon mendapat inspirasi saat menghalau burung yang yang mengganggu tanaman padi sedang menghijau menjelang menguning di sawah.
Sosok petani itu berteduh di sebuah bangunan sederhana (kubu) yang terbuat dari bahan bambu dengan atap daun kelapa di tengah sawah sambil mengusir ribuan burung dengan memukul-mukul dari bahan bambu yang saling bersahutan dengan rekannya yang juga menjaga tanaman padi di sebelah sawah.
Suara merdu yang dapat ditimbulkan dari gerakan yang tidak disengaja saat menghalau burung itu, kemudian dicoba mengkombinasikan dengan "tingklik", instrumen musik tradisional yang sangat sederhana dari bahan bambu, namun ukurannya lebih kecil.
Setiap petani memiliki bangunan sederhana (kubu) sebagai tempat istirahat sementara di tengah sawah, dan tempat itu dilengkapi dengan "tingklik" untuk menghibur diri selesai membajak di sawah.
Dari seluruh kubu di subak Sebual menyuarakan tingklik, maka alunan suara merdu menjadi ramai. Ketika petani pulang ke rumah masing-masing mereka secara serempak sepakat membuat barungan tingklik.
Dalam perkembangannya, perangkat gamelan tingklik instrumennya disempurnakan, ditambah sana-sini dengan ukuran bervariasi dari yang berukuran kecil hingga besar dan masing-masing memiliki fungsi berbeda, maka 'terciptakan kesenian yang disebut Jegog.
Jegog merupakan tungguh gamelan yang paling besar atau "mejegog", inspirasinya dari nama burung gambelan kebyar yang paling besar jegogannya. Peralatannya, antara lain grantang jegog terdiri atas tiga buah ukuran menengah, letak paling depan berfungsi sebagai melodi (nada pokok), bagian tengah sebagai pemimpin (memulai) sekaligus mengakhiri tabuh.
Instrumen lainnya yang tidak kalah penting adalah "kantil" tiga buah, "suir" tiga buah, "celuluk" dua buah, "Undir" dua buah dan "jegogan" sebuah.
Kesenian jegog yang berkembang pesat dari satu desa ke desa lainnya di wilayah kabupaten Jembrana itu, dimanfaatkan untuk mengiringi atraksi pencak silat dalam bentuk akrobat.
I Nengah Salen (64), kelahiran Desa Tegalcangkring, Jembrana yang pernah mendapat penghargaan Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemprov Bali berhasil menciptakan 13 jenis lagu (tabuh) jegog yang kini cukup memasyarakat di Bali barat.
Tabuh yang berhasil diciptakan itu antara lain tabuh kidung rengas, kebayar deng, goak mesisikan, kembang rijasa, sesapi ngiber dan pepantunan serta tujuh jenis teruntungan.(LHS)