Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Hamparan lahan sawah yang menghijau, dengan lokasi yang berundag-undag (terasering) di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, daerah "gudang beras" di Kabupaten Tabanan memiliki pemandangan dan keindahan panorama alam.
Perpaduan lembah dan perbukitan di bagian hulu Gunung Batukaru itu dikitari lingkungan dan kawasan hutan yang lestari, menjadi satu kesatuan hamparan lahan sawah yang cukup luas.
Sedikitnya sepuluh subak di kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dengan total luas sekitar 1..000 hektare diharapkan tetap lestari dan dipertahankan kesinambungan, tutur Guru Besar Universitas Udayana, Prof Dr I Wayan Windia, MS.
Keyakinan mampu mempertahankan kelestarian subak yang berperan dalam mempertahankan ruang hijau dan ketahanan pangan itu didasarkan atas keputusan UNESCO, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa membidangi pendidikan telah memasukkan subak sebagai warisan budaya dunia.
UNESCO akan menetapkan subak sebagai salah satu WBD itu dalam sidang pleno akan berlangsung di St Petersburg, Rusia, pada 20 Juni 2012, ujar Prof Windia yang juga sekretaris tim penyusunan proposal WBD subak di Bali.
Pemerintah Indonesia dan Bali khusus berjuang hampir selama 12 tahun untuk menjadikan subak sebagai salah satu WBD, sekaligus mempertahankan kawasan hijau, menjaga kelestarian lingkungan, menyediakan pangan, sekaligus objek wisata.
Pembagian air secara adil dan merata untuk lahan persawahan di bagian hulu hingga hilir saluran irigasi dalam hamparan lahan sawah yang cukup luas menjadi ciri khas dari sistem organisasi pengairan tradisional bidang pertanian.
Organisasi yang diwarisi turun temurun itu tetap eksis, meskipun terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak dapat dihindari akibat pesatnya pembangunan menyangkut berbagai aspek sehingga mengorbankan sawah.
Namun dengan nantinya ada pengakuan dari UNESCO, bahwa subak pada empat kawasan yang menjadi satu-kesatuan itu sebagai WBD, maka kelestarian subak pada yang mencapai sekitar 1.000 hektar dapat dipertahankan.
"Semua pihak masyarakat, petani penggarap lahan, pemerintah kabupaten, perintah provinsi dan pemerintah pusat sepakat untuk tetap memelihara dan mempertahankan kawasan sehingga tetap diakui sebagai WBD," ujar Prof Windia.Ahli pertanian dari China, Bangladesh, Maroko dan sejumlah negara di Afrika pernah secara khusus belajar mengenai sistem subak di Bali dengan harapan bisa diterapkan di negaranya.
Bahkan Bangladesh pernah mengirim petaninya untuk belajar ke Bali, dengan harapan mampu meningkatkan produksi pertanian yang selama ini masih sangat rendah.
Demikian pula utusan dari 12 negara di kawasan Asia Pasifik yang mengikuti Kursus dan Pelatihan Internasional Bidang Penyuluhan Pertanian serta Metodalogi (Fourth International Course on Agriculral Extension and Training Methodologi) secara khusus mempelajari sistem subak di Bali.
Selain itu rombongan dari China yang dipimpin Menteri Pertaniannya Du Qinglin serangkaian kunjungannya ke Bali beberapa waktu lalu secara khusus melihat dari dekat keberhasilan pembangunan pertanian yang ditopang oleh subak.
"Subak mempunyai andil yang sangat besar dalam memantapkan ketahanan pangan di Bali," jelas Windia yang juga ketua grup riset sistem subak Universitas Udayana.
Bali memiliki lahan pertanian seluas 84.118 hektar yang terbagi dalam 2.345 subak tersebar di delapan kabupaten dan satu kota di Bali. Namun dalam beberapa tahun belakangan seiring dengan peralihan fungsi lahan ke non pertanian beberapa supenyusutan subak juga tidak bisa dihindari.
Denpasar sebagai ibukota Propinsi Bali serta Kabupaten Badung sebagai pusat pengembangan pariwisata serta tujuh kabupaten lainnya di Bali penyusutan lahan pertanian itu setiap tahunnya tidak kurang dari 1.000 hektar yang telah terjadi selama lima tahun terakhir.
Subsidi pajak
Kota Denpasar, sebagai ibu kota Provinsi Bali misalnya telah kehilangan sembilan subak yang masing-masing dengan hamparan di atas 50 hektar.
Pemerintah Kota Denpasar dalam mempertahankan kelestarian subak memberikan subsidi untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) terhadap tanah-tanah milik masyarakat yang berlokasi di jalan hijau.
Bantuan subsidi yang disalurkan sejak tahun 2006 dimaksudkan untuk meringankan beban pemilik dan menghindari adanya lahan beralih fungsi dan masyarakat tetap mempertahankan lahannya untuk kegiatan pertanian.
Lahan di sepanjang kawasan jalur hijau dilarang untuk pembangunan fisik. Pemerintah Provinsi Bali juga memberdayakan seluruh subak di daerah ini dengan memberikan bantuan secara berkesinambungan sebesar Rp20 juta per subak setiap tahunnya.
Dana tersebut diarahkan untuk perbaikan sarana irigasi pertanian dalam skala kecil, sedangkan bangunan permanen yang memerlukan dana besar tetap menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten maupun Pemprov Bali.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika menaruh perhatian serius dalam mempertahankan kelestarian subak, dengan harapan ruang hijau dapat dipertahankan.
Perhatian itu selain dalam bentuk bantuan rutin setiap tahun, juga memberikan bantuan aneka jenis bibit ternak dan bibit pertanian lewat sistem pertanian terintegrasi (Simantri).(LHS/T007)
Subak, Pertahankan Ruang Hijau Di Bali
Minggu, 17 Juni 2012 17:47 WIB