Denpasar (ANTARA) - Sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho menanggapi terkait dengan Peraturan Presiden (Perpres) pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di dalam negeri, bahwa dikhawatirkan akan mengurangi fungsi pertahanan TNI, dan membuatnya kembali ke ranah sipil.
"Dalam hal ini, terdapat doktrin yang berbeda antara kepolisian dengan TNI, kepolisian dengan doktrin keamanan, sedangkan TNI doktrin pertahanan. Perbedaaan doktrin ini tentu menyebabkan perbedaan di ranah praksis atau aksi. Polisi dengan doktrin keamanan cenderung berorientasi untuk melumpuhkan, sedangkan TNI dengan doktrin pertahanan cenderung berorientasi untuk “membunuh” dan “menghancurkan”," kata Wahyu saat mengisi webinar yang diselenggarakan oleh MARAPI dan FISIP Universitas Udayana, Sabtu.
Ia menjelaskan bahwa keberadaan dari doktrin pertahanan inilah yang dikhawatirkan banyak pihak, dapat menimbulkan persoalan HAM. Kata dia, situasi ini kemudian seolah pelaku teror bukan untuk diadili dan dihukum, tetapi untuk ditembak mati di tempat.
Dikatakannya, ada beberapa catatan untuk tetap mengedepankan kepolisian dalam pemberantasan terorisme. Pertama, setelah revisi UU Terorisme (2018) polisi sudah bisa bertindak sebelum kejadian (teror). Namun, sebelumnya (sebelum revisi UU Terorisme) baru bisa bertindak setelah ada
kejadian.
"Itulah mengapa, dalam beberapa tahun terakhir ini banyak terjadi penangkapan anggota berbagai jaringan teroris di Indonesia. Yang artinya kita sudah menerapkan offensive counterterrorist operations, bukan lagi sekadar defensive security," ucap Wahyu.
Baca juga: Pangdam Udayana minta jajaran dukung Polri amankan unjuk rasa
Selanjutnya, pertimbangan lainnya yaitu setelah dibentuknya Densus 88 angka teror di tanah air cenderung menurun.
Selain khawatir akan mengurangi fungsi pertahanan TNI, Wahyu juga menjelaskan kaitannya pada era Orde Lama dan Orde Baru, yang mana pendekatan militer memang lebih diutamakan.
Menurutnya, hal ini didasari karena beberapa alasan yaitu di era Orde Lama dan Orde Baru isu HAM belum menjadi prioritas. Kemudian di era Orde Lama, aksi terorisme yang terjadi berbentuk gerakan pemberontakan yang sifatnya masif dan hanya bisa diatasi oleh tentara karena kepolisian belum mampu
mengatasinya. Salah satu contohnya, pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
"Dalam masyarakat demokratis, atau dalam masyarakat sedang mengalami proses demokratisasi, dan sudah memiliki kepolisian yang kuat, ada pendekatan yang digunakan untuk melawan terorisme yaitu criminal justice model. Artinya di Indonesia saat ini, terorisme (perlu) ditempatkan sebagai persoalan penegakan hukum yang ditangani kepolisian, bukan persoalan pemberontakan yang ditangani TNI," ucapnya.