Oleh Ni Luh Rhismawati
Denpasar (Antara Bali) - Ketenangan Bali sebagai pulau yang dikenal penuh kedamaian, tiba-tiba terusik ketika 17 September 2011, bentrokan massa "meletus" melibatkan warga Kemoning dan Budaga di Kabupaten Klungkung.
Tiba-tiba ratusan warga saling menyerang dengan membawa berbagai jenis senjata tajam. Polisi yang mengamankan kejadian tersebut pun harus menembakkan peluru karet guna mengendalikan keadaan. Bahkan satu warga tewas dalam kejadian konflik yang dikatakan bernuansa adat itu.
Beberapa hari berselang setelah peristiwa Kemoning-Budaga, di Desa Pangkung Karung, Kabupaten Tabanan juga terjadi penghadangan terhadap penguburan jenazah salah satu warga.
Kelompok masyarakat di desa itu bahkan melarang pihak keluarga untuk membawa ke luar jenazah menuju rumah sakit.
Beruntung pihak kepolisian, pemkab setempat dan tokoh-tokoh masyarakat berhasil sedikit menenangkan suasana sehingga jenazah akhirnya dapat dikremasi di sebuah krematorium milik warga Pasek di Denpasar. Latar belakang permasalahan ditengarai karena persoalan keinginan pemekaran desa adat (desa pakraman).
Di Kabupaten Bangli, juga sempat terjadi perseteruan adat yang melibatkan warga Desa Songan dengan Banjar Kawan. Pemicu bentrok karena perkelahian melibatkan salah seorang warga dari dua kawasan tersebut.
Pada 2011, masih ada beberapa kasus bernuansa adat lainnya mulai dari masalah tapal batas hingga sengketa pura yang dapat dikatakan sedikit memberi noda bagi Pulau Bali yang terkenal dengan kedamaiannya. Dari beberapa kasus itu, apakah ini menandai masyarakat Bali sudah mulai luntur semangat persaudaraannya?
Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Jro Gede Suwena Putus Upadesha mengatakan, keterlenaan masyarakat di Pulau Dewata dalam memperoleh berbagai kemudahan turut memengaruhi munculnya konflik adat di daerah itu.
"Dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang didapatkan menjadikan orang Bali sering melupakan jati dirinya sebagai individu yang seharusnya taat pada ajaran agama Hindu. Masyarakat terlalaikan karena yang diuber bagaimana mendapatkan suatu kenikmatan dan rezeki agar dapat digunakan dalam kehidupan ini," kata Jro Suwena sebagai pemimpin institusi adat tertinggi di Bali itu.
Ia menyampaikan bahwa saat ini setidaknya masyarakat Bali dihadapkan pada kemudahan pada empat sektor yang disingkat menjadi "4 T", yakni "tourism" (pariwisata), "trade" (perdagangan), "transportation" (transportasi), dan "telecomunication" (telekomunikasi).
"Ke mana-mana sekarang mudah dengan adanya alat transportasi dan telekomunikasi. Pun dengan pariwisata dan perdagangan yang berkembang, pengaruhnya sangat luas memberikan dampak positif sekaligus negatif bagi masyarakat. Tanah-tanah di Bali menjadi begitu berharga untuk kepentingan sarana pariwisata," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa dengan berbagai kemudahan sarana yang ada, jika salah menggunakan, maka akan berimbas muculnya berbagai persoalan.
Sementara itu, pengamat hukum dan ideologi ekonomi internasional Universitas Udayana Dr Ida Bagus Wyasa Putra mengatakan, konflik yang muncul pada masyarakat Bali dalam beberapa waktu terakhir merupakan salah satu ekspresi cara kerja ideologi kapitalis.
Dicontohkan, kejadian bentrok antara masyarakat Kemoning dan Budaga tidak dapat dipandang dari satu sisi sebagai konflik yang murni karena persoalan adat semata di desa itu. Namun, juga mencerminkan ekspresi cara kerja ideologi kapitalis.
Menurutnya, cara kerja ideologi kapitalis nampak dari perlindungan ekstrem terhadap hak-hak individu dan kebebasan yang ekstrem berbentuk klaim pada hal-hal tertentu. Termasuk klaim kebebasan bersikap dan berperilaku, mengklaim suatu kepemilikan dan klaim terhadap kebebasan berekspresi.
"Konflik sosial yang terjadi di Bali saat ini sebetulnya lebih merupakan kelanjutan dan bagian dari konflik sosial yang muncul mulai proses reformasi. Ini bukan konflik yang berdiri sendiri, tetapi merupakan rangkaian dari suatu konflik besar yang dimulai saat reformasi. Bedanya, konflik pada masa reformasi adalah menuju perubahan ke arah perbaikan," ucap akademisi di Fakultas Hukum Universitas Udayana itu.
Namun, harus disayangkan, perubahan yang diharapkan menuju kebaikan dengan cara melakukan perubahan konstitusi semenjak era reformasi, justru mengakibatkan pergeseran ideologi di dalam konstitusi.
"Pergeseran ideologi itu berupa masuknya ideologi kapitalis ke dalam rumusan-rumusan konstitusi dan tergesernya posisi Pancasila sebagai ideologi negara. Ini sebenarnya persoalan yang sangat fundamental dan besar. Jadi konflik di desa pakraman yang terjadi beberapa waktu terakhir terjadi karena pergeseran ideologi yang telah meresap tanpa disadari oleh masyarakat," katanya.
Wyasa memandang, dalam suatu kehidupan bangsa yang penyelenggara dan masyarakatnya tidak siap terhadap perubahan sebagai akibat dari ketidaksadaran terhadap pergeseran ideologis ini, menjadikan kebebasan kapitalis yang cenderung ekstrem dengan mudah berubah menjadi suatu perilaku anarkhis dan asosial.
"Klaim suatu kepemilikan dan kebebasan berekspresi pada suatu derajat tertentu pasti akan berbenturan dengan hak yang sama dengan orang lain. Ketika kebebasan seseorang berbenturan dengan kebebasan orang lain, kalau tidak ada manajemen pencerahan, manajemen pencegahan, dan manajemen kompromi pasti akan berubah menjadi bentuk konflik," ucapnya.
Terlebih pada suatu situasi masyarakat yang proses sosialnya belum selesai, yakni dari proses kehidupan tradisional menuju kehidupan modern, kondisi ini dengan mudah menjadi anarkhi sosial.
Konflik Revitalisasi Nilai Sosial
Wakapolda Bali Brigjen Pol Ketut Untung Yoga menilai konflik yang beberapa kali terjadi di Bali tidak selalu berdampak negatif.
"Konflik dapat menjadi awal untuk bangkit kembali dan merevitalisasi bagaimana nilai-nilai sosial dalam kemasyarakatan yang seharusnya dilakukan," katanya.
Menurut dia, konflik tidak harus ditakuti karena sejatinya dalam diri setiap orang terdapat konflik.
"Oleh karena itu, dengarkanlah bisikan kalbu kita. Konflik terjadi pada saat kecenderungan umat manusia tidak mengikuti nuraninya. Intinya, konflik hendaknya diatur supaya menimbulkan sinergi dalam mencari solusi pemecahannya," ucapnya.
Konflik desa pakraman atau desa adat yang terjadi selama ini, menurut Yoga, bagian dari revitalisasi dalam mengkaji kembali nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat.
"Beberapa nilai luhur tentu harus diubah sesuai dengan hal yang berkembang saat ini. Sekarang, dengan semakin kompleksnya masalah sosial masyarakat sehingga harus disesuaikan kembali dengan tetap mengacu pada nilai dasarnya," tegasnya.
Sedangkan Ketua MUDP Bali Jro Gede Suwena Putus Upadesha mengajak segenap masyarakat Pulau Dewata kembali pada jati diri untuk meminimalisasi konflik.
"Kami mengharapkan masyarakat (krama) Bali kembali pada jati diri dengan berlandaskan ajaran agama masing-masing dalam berperilaku sehingga tahun depan tidak akan terjadi lagi konflik-konflik yang berbau adat," kata Jro Suwena.
Ia mengingatkan, bahwa segala sesuatu yang ada di Bali saat ini merupakan titipan dari para leluhur atau nenek moyang yang harus dilestarikan. Melestarikannya itu dapat ditempuh dengan senantiasa melakukan hal-hal positif yang bersumber dari ajaran agama.(LHS/IGT)