Jakarta (ANTARA) - Andriany Trilestary, adalah sosok di balik kesuksesan atlet bulu tangkis penyandang tuna rungu, Ilyas Rachman Ryandhani, pada ajang bergengsi World Deaf Championships 2019 di Taiwan, Senin.
Tiga medali emas direbut Ilyas dari nomor tunggal putera, ganda putra, dan ganda campuran di Taipei Gymnasium Taiwan mengalahkan pesaing dari sejumlah negara dunia, di antaranya India dan Hong Kong yang bertemu di laga final.
Andriany Trilestary (48) merupakan sosok ibu kandung yang membesarkan serta mengarahkan bakat yang dimiliki Ilyas hingga mampu tampil menaklukan pentas dunia bulu tangkis tuna rungu 2019.
Ilyas yang lahir tanpa indera pendengaran dan sulit berbicara di Karawang pada 14 Mei 2001 silam, sempat membuat Andriany memutuskan untuk menutup pergaulan anaknya bersama temannya sejak balita.
"Sempat saya merasa minder dengan kondisi Ilyas, namun saat diperiksa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dokternya mengultimatum saya, kalau ingin anaknya maju, harus dilepas berinteraksi dengan umum, tidak dikungkung di dalam rumah. Dari situ saya mulai percaya diri," kata Andriany melalui sambungan telepon di Jakarta.
Sejak saat itu, Ilyas mulai menempuh pendidikan inklusif sekolah dasar di Jakarta untuk meningkatkan interaksi sosial bersama sejumlah siswa penyandang disabilitas lainnya.
Bakat atlet mulai tampak pada diri Ilyas saat dia gemar bermain layangan dengan teman sebaya di lingkungan rumah.
Baca juga: Atlet Lee Chong Wei pensiun dari bulu tangkis
Baca juga: Indonesia bertekad pulangkan Piala Sudirman
"Kecilnya Ilyas suka main layangan. Dia berkali-kali kejar layangan dan berkali-kali juga tidak lihat arah, hingga terkena motor dan lainnya. Ilyas harus punya aktivitas menyalurkan energi," katanya.
Namun penyakit mimisan yang identik dengan pendarahan di hidung, membuat Andriany dan suaminya, Heryawan (56), perlu memilih tempat bermain khusus bagi Ilyas.
"Ilyas itu sejak kecil tidak bisa kena panas terik saat main. Kondisi panas dan gerakan yang tidak stabil membuat Ilyas mimisan. Sehingga kami memutuskan untuk mencari tempat yang sifatnya indoor," katanya.
Sejak saat itu, Ilyas pun mulai mengenal permainan bulu tangkis. Bahkan saat duduk di kelas 3 SD, Ilyas menjadi wakil dari daerahnya dalam ajang Pekan Olahraga SD di Jawa Timur, meski belum berhasil menoreh juara.
"Saat itu saya tidak kepikiran mengarahkan Ilyas menjadi atlet. Tapi saya selalu tanamkan ke Ilyas, kamu harus mau bersaing dengan yang lain," katanya.
Andriany mengatakan semangat berkompetisi yang ditanamkan kepada Ilyas perlahan membangkitkan bakat bermain bulu tangkis. Sejak kelas 6 SD hingga SMP, tawaran bergabung dengan sejumlah klub besar pun datang.
Pada awal 2018, Ilyas menjalani proses uji coba di Taufik Hidayat Arena Ciracas dan memulai karir sebagai atlet amatir dengan mengikuti turnamen reguler. Rangkaian prestasi membuka peluang Ilyas bergabung di klub besar seperti Semen Gresik dan Djarum.
Namun anak bontot dari dua bersaudara itu masih belum mau terikat kontrak dengan klub besar, sehingga Andriany lebih memprioritaskan pendidikan sekolah bagi Ilyas sambil mengisi waktu luang dengan berlatih bulu tangkis.
Raihan emas dan perak saat berlaga di ajang Asia Pacific Badminton Championship Kualalumpur 2018, membawa langkah Ilyas bergabung di Taufik Hidayat Arena pada Januari 2019.
"2019 di kelas 2 SMK, Ilyas ditawarin gabung di Taufik Hidayat Arena hingga sekarang aktif berlatih di sana," katanya.
Bagi Andriany, prestasi meraih tiga medali emas di ajang World Deaf Championships 2019 di Taiwan, merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang ibu di tengah keterbatasan yang dialami anaknya.
"Saya sebagai orang tua, dengan kondisi Ilyas sekarang jadi kebanggaan tersendiri, karena di luar keterbatasannya, dia mampu sumbangkan emas untuk negaranya. Saya bangga sebagai orang tua tidak bisa ucapkan terlalu banyak," demikian Andriany.