Denpasar (Antara Bali) - Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Budaya dan Pariwisata Kemenbudpar Prof Dr I Gde Pitana MSc mengatakan, kawasan di Bali yang dinominasikan menjadi warisan budaya dunia (WBD) ke lembaga pendidikan dan kebudayaan dunia (UNESCO) sejauh ini masih menyisakan permasalahan.
"Khususnya pada objek wisata DAS Pakerisan di Kabupaten Gianyar dan kawasan persawahan Jatiluwih di Tabanan," kata Pitana di Denpasar, Kamis.
Mantan Kadisbudpar Bali ini menuturkan, dari tiga tempat di Pulau Dewata yang masuk nominasi WBD, yakni DAS Pakerisan, kawasan persawahan Jatiluwih dan Pura Taman Ayun di Badung, hanya Taman Ayun yang nampaknya lebih pasti.
"Lebih pasti maksudnya, karena jelas yang punya dan batasnya pun sudah ditentukan. Pura itu seperti diketahui, termasuk dalam kawasan kepemilikan Bupati Badung AA Gde Agung. Sedangkan Pakerisan dan Jatiluwih, seluas mana yang akan dimasukkan nominasi dan siapa yang punya kawasan itu/" ujarnya, mempertanyakan.
Di Jatiluwih, misalnya, kata Pitana, diperlukan komitmen dari keseluruhan petani pemilik lahan agar bisa melestarikan dan tidak melakukan perubahan setelah nantinya kawasan itu menjadi WBD. Namun, sawah-sawah di Jatiluwih merupakan milik individu-individu dan bukan pula satu lembaga.
"Di Pakerisan juga sama, siapa yang bisa menjamin di sepanjang sungai akan dilestarikan?" ucapnya, mempertanyakan.
Pitana menambahkan, jika dulu saat pengajuan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, berdasarkan Konvensi UNESCO tahun 1972 menjadi lebih mudah karena jelas batasnya dan kawasan itu milik pemerintah.
Permasalahan lain, kata dia, petani juga sering mempertanyakan manfaat yang akan didapat jika kawasan persawahannya berhasil diakui sebagai WBD dari UNESCO.
"Kami tidak dapat berjanji yang muluk-muluk tentang itu. Tetapi paling tidak ketika itu sudah diakui, akan menjadi suatu kebanggaan bagi Bali, sehingga menumbuhkan semangat dan komitmen untuk terus melestarikan," ucapnya.(*)