Ada tradisi ritual persembahan untuk kera yang hidup di kawasan Pura Pulaki, Desa Banyupoh, Kabupaten Buleleng, Bali yang dikenal dengan upacara "Wanaralaba".
Kera yang hidup di kawasan Pura Pulaki dalam jumlah ratusan ekor itu dikenal suka jahil dan kadang nakal.
Umat Hindu yang hendak sembahyang di Pura Pulaki di Kecamatan Gerokgak mesti ekstra waspada. Jika lengah, banten (sesaji) yang berisi bunga, kue, dan buah-buahan untuk dihaturkan di pura bisa dijambret terlebih dahulu oleh sang kera.
Namun, jangan heran. Saat odalan di Pura Pulaki yang jatuh pada Purnama Sasih Kapat (purnama bulan keempat berdasar kalender Bali), justru kera-kera di sekitar Pura Pulaki tampak lebih jinak daripada hari biasanya. Bahkan, tak banyak yang berkeliaran di areal pura.
Para kera itu lebih suka bermain jauh di atas perbukitan di atas pura. Padahal, saat odalan itu, umat Hindu berbondong-bondong masuk pura untuk sembahyang dan tentu saja dengan membawa banten yang berisi kue dan banyak buah-buahan.
Penyebabnya, sebelum puncak odalan, ratusan kera di Pura Pulaki diberi "persembahan lelabaan" yang biasa disebut dengan upacara "Wanaralaba". Lelabaan adalah persembahan berupa berbagai jenis makanan kesukaan kera, seperti telur, pisang, dan bunga gemitir.
Ratusan kera yang hidup di sekitar Pura Pulaki tak pernah dianggap sebagai pengganggu. Justru hewan itu dianggap sebagai penunggu setia Pura Pulaki sehingga para kera itu dihormati melalui upacara.
"Wanaralaba" pada intinya agar hewan itu tetap setia menjaga pura dan tidak mengganggu umat yang bersembahyang saat odalan. Tahun 2018, odalan di Pura Pulaki jatuh pada purnama kapat atau Senin (24/9). Upacara odalan akan dilangsungkan hingga Rabu (26/9).
Sejak beberapa hari lalu, kelompok-kelompok warga dari berbagai lembaga di Bali, baik lembaga swasta maupun pemerintahan, menghaturkan persembahan berupa berbagai makanan kera dalam upacara "Wanaralaba" itu.
Seperti yang dilakukan pegawai Bagian Humas dan Protokol Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Buleleng dengan menghaturkan persembahan telur, pisang, dan bunga gemitir di pura itu pada Kamis (20/9).
Selain sebagai persembahan saat puncak upacara pada 24 September, beberapa makanan itu juga langsung dibagikan kepada kera di areal pura.
"Bunga gemitir itu ternyata disukai oleh kera, makanya kalau ada banten yang berisi bunga gemitir, kera akan tertarik untuk mengambilnya," kata Kabag Humas dan Protokol Sekda Buleleng Ketut Suwarmawan.
Selain Bagian Humas dan Protokol, seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkup Pemerintah Kabupaten Buleleng juga menghaturkan sarana berupa jenis labaan, seperti 150 butir telur mentah serta buah pisang 5-10 ijas (tandan), dan lima kantong plastik besar bunga gemitir.
Upacara persembahan "Wanaralaba" merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang diikuti Pemkab Buleleng dengan pengampu utama Bagian Kesejahteraan Sekda Buleleng. Setiap tahun juga, masing-masing bagian dan OPD Pemkab Buleleng wajib menghaturkan lelabaan.
Selalu
Pengelingsir Pura Agung Pulaki Ida Bagus Mangku Temaja mengatakan sebelum odalan atau pujawali digelar pada malam harinya, di Pura Pulaki selalu diselenggarakan upacara "Wanaralaba".
Upacara itu sebagai saat masyarakat Hindu setempat memberikan persembahan untuk ratusan kera yang selama ini menjadi penghuni perbukitan di areal Pura Pulaki.
"Yang lebih unik, saat upacara `Wanaralaba` itu juga digelar upacara lelabaan untuk wong samar atau wong gamang (makhluk halus) yang sejauh ini diyakini turut menjaga keajegan Pura Pulaki dan pura pesanakan yang lain," kata dia.
Upacara itu agar para kera tetap setia menjaga kelancaran dan kerahayuan pujawali.
Pura Pulaki merupakan salah satu pura terbesar di Bali utara. Pura ini juga dikenal dengan nama Pura Petirtaan. Pura ini, didominasi dengan ornamen batu yang berwarna hitam. Suasana di sekitar pura juga sangat asri dan indah.
Terletak di kaki bukit tentu banyak tanaman hijau yang memanjakan mata serta dekat dengan tebing yang akan membuat terdengar suara deburan ombak.
Di depan pura terbentang bukit terjal yang berbatu dan kering serta laut.
Lingkungan Pura Pulaki merupakan satu kompleks dengan beberapa "pesanakannya", yaitu Pura Melanting, lingkungan Pura Kertha Kawat, Pura Pabean, dan Pura Pemuteran.
Pura Pulaki ini dikaitkan dengan perjalanan Danghyang Nirartha. Pada waktu itu, istri Danhyang Nirartha dalam keadaan lelah dari perjalanan.
Ia kemudian memohon kepada suaminya agar diizinkan istirahat di tempat itu sampai keadaan kesehatannya pulih.
Danghyang Nirartha mengizinkan istrinya tinggal di Pulaki dengan ditemani putri dan putranya, sedangkan ia melanjutkan perjalanan.
Oleh karena lama menunggu kedatangan suaminya, istri Danhyang Nirartha memohon kepada dewata agar dirinya bersama seluruh warga mampu bersabar sampai waktu yang tidak terbatas, tanpa termakan usia.
Dewata mengabulkan permintaannya dengan persyaratan wujudnya tidak tampak oleh manusia atau menjadi suci dan menjadi orang halus (wong gamang).
Tempat moksa istri Danhyang Nirartha kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Pulaki. Pura itu sebagai tempat memuliakan dan memuja Hyang Widhi Wasa.
Pura ini terletak di Desa Banyupoh, sekitar 50 kilometer dari Kota Singaraja atau sekitar satu jam perjalanan ke arah Gilimanuk.
Kera-kera yang hidup di sekitar pura ini, sering berkumpul di halaman pura karena adanya makanan yang sering diberikan oleh para pengunjung.
Secara simbolis, upacara "Wanaralaba" itu memang dilakukan bagi kera di Pura Pulaki. Namun, sesungguhnya upacara itu juga dihaturkan bagi kera yang ada di seluruh Bali agar selalu menjaga Bali tetap ajeg dan rahayu.
"Saat puncak upacara `Wanaralaba`, pengempon pura menghaturkan banten suci dan buah-buahan. Upacara itu biasanya dilakukan tepat pada siang hari, sebelum digelar puncak pujawali," kata Ida Bagus Mangku Temaja.
Saat itu pula, ratusan kera yang hidup di kawasan Pura Pulaki pun tidak jahil dan nakal lagi. (WDY)