Denpasar (Antaranews Bali) - Komunitas Seni Gagutuk Menur menampilkan garapan bertajuk "Wong Tani" dalam ajang Bali Mandara Mahalango V untuk menyentil semakin menipisnya lahan pertanian di Pulau Dewata.
"Keberadaan lahan di Bali yang sekarang sudah mulai menipis karena ulah orang tak bertanggung jawab, inilah yang kami coba sentil melalui garapan ini," kata Pembina Komunitas Seni Gagutuk Menur, I Gede Tilem Pastika, disela-sela pementasan di Taman Budaya, Denpasar, Senin malam.
Wong Tani sendiri mengisahkan seorang pria yang menjadi juragan tanah dan mempunyai tanah luas yang digarap oleh petani sedesanya. Tetapi salah seorang anaknya ingin menjual karena tidak ingin bertani kembali.
"Dia sebagai generasi muda tidak mau bertani, itu juga menandakan bahwa generasi muda sekarang lebih memilih kerjaan di luar bidang agraris," ucap Tilem yang anggota komunitasnya berasal dari Banjar Tamiang, Desa Kapal, Kabupaten Badung itu.
Anak juragan tanah itu bahkan dengan teganya mencuri sertifikat tanah ayahnya dan menjualnya ke investor. Namun, akhirnya anak tersebut juga mendapatkan hukum karma karena diganggu dan disembunyikan oleh "gamang-gamang" atau makhluk penghuni tanah itu.
Dengan melibatkan 70 anggota komunitas, garapan tersebut disiapkan dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Sebagai pembina, Tilem pun menuturkan bahwa sulit sekali untuk mengumpulkan para pemain agar dapat latihan bersama. Tak hanya Tilem, Ida Bagus Dwi Prayoga yang mengemban tanggung jawab sebagai ketua komunitas pun turut merasakan hal yang sama.
"Rata-rata ini masih muda semua, jadi sungguh sulit untuk melunakkan ego mereka masing-masing. Namun, itu semua dapat teratasi dengan saling menguatkan satu sama lain," kata Dwi Prayoga.
Garapan dramatari kolaborasi ini menggaet beberapa pihak seperti Puri Keramas Tangeb, Sekdut Bali, dan Sanggar Mangu Samcaya. Sementara penata garapan yakni I Gede Angga Arisandi dan Ida Bagus Dwi Prayoga, pembina yakni I Gede Tilem Pastika dan I Putu Tommy Pramana Sukma.
Komunitas yang mulanya terbentuk karena kesenian kecak ini menguatkan garapannya melalui unsur tari, drama, dan nyanyian, sehingga garapannya pun ibarat sebuah drama musikal.
Dwi Prayoga berharap segala ilmu yang didapatkan di dalam komunitas, hendaknya dapat dijadikan sebagai sebuah pembelajaran hidup.
"Apapun yang mereka dapatkan di sini dapat menjadi bahan pendewasaan mereka," ucapnya.
Tak hanya itu, pihaknya tetap berharap agar Mahalango senantiasa menjadi wadah berkreasi, yang hingga kini masih merindukan publikasi. "Publikasinya semoga bisa lebih luas lagi, agar lebih ramailah," ujar Tilem Pastika. (WDY)