Negara (Antaranews Bali) - Keterbatasan penglihatan yang diderita I Putu Sedana Yasa, warga Desa Yehembang, Kabupaten Jembrana, Bali tidak menyurutkannya untuk menjadi seorang guru.
Lahir dari keluarga tidak mampu dengan kondisi mata kiri buta dan mata kanan hanya bisa melihat dalam jarak yang terbatas, tidak mudah bagi laki-laki kelahiran Dusun Pasar, Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo 18 Desember 1990 ini meraih cita-citanya.
Ditemui Rabu ia mengatakan, cita-citanya untuk menjadi guru perlahan ia wujudkan saat lulus dari SMA Negeri 2 Negara pada tahun 2011 dengan mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar.
"Saya sangat ingin kuliah untuk menjadi sarjana pendidikan, tapi karena ayah saya sudah meninggal sementara ibu saya hanya bekerja sebagai buruh mencuci, keinginan itu tidak bisa hanya saya sandarkan kepada ibu, tapi saya harus berusaha meraihnya sendiri," katanya.
Dengan ketekunan, bakat serta tekad kuat, pada bulan Januari tahun 2012 ia membuka sendiri bimbingan belajar di rumahnya. Lewat usaha Bimbingan Belajar Bhineka Sedana ini, ia bisa menempuh kuliah di Universitas Terbuka jurusan pendidikan hingga meraih gelar sarjana yang ia cita-citakan.
Meskipun memiliki keterbatasan fisik, sejak sekolah dasar Sedana sudah mendapatkan berbagai prestasi, hingga bersekolah di SMA Negeri 2 Negara yang merupakan salah satu sekolah favorit di Kabupaten Jembrana. Di SMA tersebut, sejak kelas satu hingga lulus, ia selalu menjadi juara umum ketiga dan beberapa kali dikirim sekolahnya untuk mengikuti lomba.
Menurutnya, beberapa lomba bidang pendidikan yang pernah ia ikuti antara Olimpiade Sains Nasional Bidang Ilmu Kebumian Tingkat Provinsi Bali dimana ia menjadi wakil Kabupaten Jembrana, lomba karya ilmiah remaja Provinsi Bali, serta beberapa lomba pelajar lainnya.
Di balik prestasi, bakat serta cita-cita mulianya untuk mendidik anak-anak Kabupaten Jembrana, terselip peristiwa pedih saat ia ditolak mengabdi di salah satu sekolah. Meskipun pihak sekolah beralasan penolakan karena jumlah guru sudah penuh, namun ia merasa penolakan itu karena meragukan kemampuannya akibat keterbatasan fisiknya.
"Saya merasa penolakan disebabkan pertimbangan keterbatasan mata saya, karena tidak lama kemudian sekolah itu menerima guru abdi baru. Saya ingin mengajar di sekolah formal karena ingin menerapkan ilmu yang sudah saya peroleh," katanya.
Mendapatkan penolakan tersebut, Sedana lantas fokus pada lembaga bimbingan belajar miliknya yang sudah mendidik ratusan orang, bahkan banyak yang saat ini sudah kuliah. Dalam menerima peserta bimbingan belajar ia tidak pilih-pilih, mulai dari anak-anak yang sudah bisa membaca hingga anak yang sama sekali belum tahun huruf abjad.
Karena merasakan sulitnya menempuh pendidikan akibat keterbatasan biaya, bagi peserta bimbingan yang berasal dari keluarga miskin tidak ia pungut biaya, bahkan terkadang ia membantu membelikan peralatan sekolah.
"Saya mencoba tidak hanya berbagi ilmu tapi juga berbagi rejeki. Sangat tidak mengenakkan menjadi orang tidak mampu. Semoga anak didik peserta bimbingan belajar saya bisa menjadi orang sukses," katanya.
Saat ini, bimbingan belajar miliknya menerima murid tingkat SD dan SMP, dengan berbagai mata pelajaran termasuk Bahasa Jepang dan Inggris. Meskipun sempat ditolak mengabdi di sekolah formal, ia masih memiliki harapan ada sekolah yang mau menerimanya sebagai guru.
"Soal kemampuan saya mengajar bisa ditanyakan kepada peserta bimbingan belajar disini. Saya berharap, sekolah tidak hanya melihat keterbatasan fisik saya tapi juga kemampuan saya sebagai pendidik," katanya.(GBI/I006)