Denpasar (Antaranews Bali) - Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut hukuman penjara seumur hidup bagi empat terdakwa kasus pemufakatan jahat melakukan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkoba berupa 19.000 butir ekstasi di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Selasa,
Dalam sidang terpisah dengan jaksa penuntut umum berbeda-beda menyatakan sepakat menuntut keempat terdakwa yakni Dedi Setiawan, Iskandar Halim, Budi Liman Santoso, dan Abdul Rahman Willy melanggar Pasal 114 Ayat 2 jo Pasal 132 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
"Terdakwa Iskandar Halim terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam kasus narkotika golongan satu bukan tanaman melebihi lima gram," kata JPU Kade Wahyudi Ardika dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Ida Ayu Nyoman Adnya Dewi.
Untuk terdakwa Budi Liman Santoso disidangkan oleh Jaksa Bella P Atmaja dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Ketut Suarta. Sidang untuk terdakwa Dedi Setiawan disidangkan Jaksa Ni Luh Oka Ariani Adikarini dengan Ketua Majelis Hakim Partha Bhargawa.
Sedangkan terdakwa Abdul Rahman Willy disidangkan Jaksa Dewa Lanang Raharja dengan Ketua Majelis Hakim Made Pasek. Hal yang memberatkan tuntutan terdakwa karena bertentangan dengan upaya pemerintah yang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan segala jenis peredaran dan penyalahgunaan narkotika.
Terdakwa juga memberikan keterangan berbelit-belit, tidak menyesali perbuatannya dan pernah dihukum.
Mendengar tuntutan JPU yang sangat tinggi itu, Josep Robert Khuana, salah satu penasihat hukum terdakwa Abdul Rahman Willy, mengaku kaget dengan tuntutan JPU karena dinilainya tidak rasional dan tidak berdasarkan fakta hukum maupun hanya mengandalkan petunjuk semata.
"Ada sepuluh petunjuk yang digunakan jaksa itu bukan merupakan fakta persidangan dan banyak fakta sidang yang dipenggal, bahkan saya katakan ada yang dimanipulasi. Antara lain disebutkan ketika Dedi Setiawan ditangkap, Dedi sudah mengetahui barang itu direncanakan untuk dibawa ke Bali. Padahal terdakwa Dedi ini di bawah kontrol polisi," katanya.
Robert Khuana menambahkan, dalam fakta persidangan Dedi tidak mengenal kliennya Willy yang juga duduk dalam pesakitan itu. "Fakta persidangan menunjukkan bahwa Dedi menghubungi Iskandar setelah ditangkap kepolisian. Fakta persidangan juga membuktikan Dedi dibawa ke Denpasar oleh polisi dan ini bukan inisiatif dari klien saya," katanya.
Dalam uraian pembuktian JPU, justru disinggung ada komunikasi antara Dedi dengan kliennya Willy saat Dedi belum ditangkap. "Ini semuanya kosong, tidak ada fakta persidangan dan BAP kepolisian seperi itu. Lalu dari mana petunjuk ini datang," ujarnya.
Menurut Robert Khuana ada upaya JPU untuk menambah uraian pembuktian untuk membuktikan unsur pemufakatan jahat, padahal di dalam petunjuk nomor sepuluh itu tidak ada sama sekali yang menyinggung permufakatan jahat atau unsur mutlak dari pasal yang dituntutkan kepada klien kami.
"Pendapat saksi ahli yang sebelumnya dihadirkan juga tidak disinggung, padahal ahli dihadirkan untuk keperluan sidang dan bukan untuk keperluan terdakwa. Jadi saya sampaikan bahwa tuntutan JPU tidak sesuai fakta sidang dan memanipulasi fakta sidang," katanya.
Hal senada diungkapkan terdakwa Budi Liman Santoso usai dituntut hukuman seumur hidup oleh JPU yang didampingi penasihat hukumnya Vian Graciano mengatakan kepada media bahwa proses persidangan dirinya telah direkayasa oleh kepolisian dan jaksa.
Dalam sidang sebelumnya terungkap bahwa berawal dari penangkapan Dedi Setiawan di Tangerang, Banten, pada 1 Juni 2017 dengan barang bukti 19.000 butir ekstasi. Selanjutnya, Bareskrim Mabes Polri melakukan pengembangan kasus bahwa barang bukti tersebut akan dijual dengan perantara saksi Iskandar Halim dan Budi Liman Santoso kepada Willy.
Sebelum ditangkap, saksi Budi Liman pada 31 Mei 2017 sempat menghubungi Willy bahwa temannya menawarkan kepadanya ekstasi. Saat itu, Budi Liman menyebutkan jumlah ekstasi 20 ribu butir. Willy menyatakan tidak berminat karena jumlahnya terlalu banyak.
Kemudian, Budi Liman mengajak Willy untuk bertemu esok harinya, namun terdakwa mengaku tidak bisa karena keluar kota. Kemudian, pada 4 Juni 2017, Pukul 14.49 Wita, Budi Liman kembali menghubungi Willy untuk janjian bertemu malam harinya. Namun saat dihubungi kembali pada malam hari, Willy tak mengangkat telepon.
Selanjutnya, Budi Liman menghubungi Willy kembali pada 5 Juni 2017 dengan mengatakan bahwa ekstasi sudah ditangannya dan Budi Liman menanyakan kapan barang itu dibawa kepada Willy. Namun, saat itu Willy mengatakan ingin melihat sample (contoh) dahulu dan cukup dibawakan beberapa saja butir untuk dilihat Willy.
Saksi Budi Liman menyanggupi dan akan mengantar kepada Willy dan meminta sample barang haram itu itu dibawa Pukul 13.30 Wita dan langsung bertemu di Ruang karaoke Akasaka Night Club Nomor 26.
Usai bertemu dengan saksi Budi Liman dengan dua orang bersamanya, Willy kemudian langsung mengantarkan ketiganya ke ruang karoke nomor 26 dan meminta Budi Liman agar meletakkan ekstasi pesanannya ke dalam tempat sampah di dalam room tersebut.
Tidak lama kemudian datang petugas dari Bareskrim Polri menangkap terdakwa dan dibawa ke kantor polisi beserta barang bukti untuk pemeriksaan lebih lanjut. (WDY)
Terdakwa 19.000 ekstasi dituntut penjara seumur hidup
Selasa, 20 Februari 2018 19:52 WIB