Ada saja gagasan maestro pelukis I Nyoman Gunarsa untuk menciptakan karya-karya seni yang unik, selain kelincahan tangan di atas kanvas yang sanggup menghasilkan lukisan berbagai corak serta kaya warna.
Kemampuan dan keandalannya dalam bidang seni itu tidak diragukan lagi, bahkan karya seninya sanggup menghiasi sejumlah museum dan galeri di dalam dan luar negeri.
Itulah sosok maestro seni lukis Bali Dr (HC) I Nyoman Gunarsa (73). Ia meninggal dunia dalam perawatan intensif di ruang wing Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar, 10 September 2017.
"Masyarakat Bali merasa sangat kehilangan terhadap kepergian salah seorang putra terbaiknya I Nyoman Gunarsa, guru saya saat menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1979/1980," tutur I Nyoman Erawan (59), seniman kondang kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Jasa-jasa yang telah digoreskan dan dikibarkan dalam jagat seni akan membuat Nyoman Gunarsa selalu dikenang. Lewat goresan seni sebagai pelopor seni modern di Bali, ia tentu akan selalu dikenang.
Almarhum meninggalkan seorang istri, Indrawati Gunarsa, seorang putra dan dua putri, serta tujuh cucu dari ketiga putra-putrinya yang telah membentuk rumah tangga.
Mantan dosen ISI Yogyakarta itu, juga telah berhasil mencetak ratusan seniman andal yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara. Mereka tentu akan melanjutkan goresan seni yang tetap berakar pada nilai-nilai tradisi.
Jagat seni Pulau Dewata tentu tidak akan pernah sepi, setelah Nyoman Gunarsa menuju "pangkuan kasih Ibu Pertiwi" menjalani ritual pengabenan (pembakaran jenazah) pada 30 September 2017, karena akan ada generasi baru, antara lain Made Wianta (68).
Seniman, khususnya seni lukis, tidak bisa dibentuk secara khusus lewat pendidikan formal, karena mereka memiliki karakter masing-masing yang berbeda dan memerlukan perjuangan panjang.
Sosok Nyoman Gunarsa sebagai pelopor dalam melakukan terobosan berkarya, telah mengembangkan seni rupa ke zaman yang lebih modern, tanpa meninggalkan konsep pelestarian tradisional.
Bahkan, almarhum pun kembali ke kampung halamannya di Desa Banda, Banjarangkan, Kabupaten Klungkung untuk membangun "Museum Seni Lukis Klasik" dan "Museum Seni Lukis Kontemporer Indonesia Nyoman Gunarsa".
Kepeloporan sang maestro itu terbukti dengan kunjungan Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo ke "Museum Seni Lukis Kontemporer Indonesia Nyoman Gunarsa" pada 4 Agustus 2017.
Nyoman Gunarsa saat itu tampak sehat bersama istri dan keluarga. Mereka menyambut kedatangan Kepala Negara yang didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Saat memberikan sambutan, Jokowi menyebutkan dirinya mengundang Nyoman Gunarsa beserta ibu ke Istana Kepresidenan pada 3 April 2017 untuk menunjukkan sebuah foto lukisan besar yang diberi judul "Jokowi Minum Jamu".
"Yang saya heran kok Pak Nyoman tahu bahwa saya suka minum jamu, lalu beliau juga meminta saya untuk melihat museum, karena itu saya ke sini," ujar Presiden Jokowi saat itu.
Perintah Presiden
Dalam sambutannya, Jokowi menegaskan bahwa museum, khususnya yang dibangun Nyoman Gunarsa, itu penting untuk cagar budaya bangsa dan memang siapapun yang datang ke Bali pasti akan merasakan bahwa seni adalah roh dari kehidupan masyarakat Pulau Dewata.
Apalagi, sosok Nyoman Gunarsa itu sangat memengaruhi seni budaya Bali, utamanya di bidang lukis.
"Saya sangat mengagumi lukisan-lukisan Nyoman Gunarsa. Saya sudah perintahkan kepada dirjen, nanti saya juga akan perintah lagi kepada menteri, untuk menjaga, merawat, memperbaiki museum ini bersama-sama antara pemerintah dengan keluarga besar Bapak Nyoman Gunarsa," ujar Presiden Jokowi.
Keberadaan dua museum yang dibangun Nyoman Gunarsa di atas hamparan lahan sekitar lima hektare itu, dilengkapi dengan fasilitas tempat pameran dan tempat pementasan yang berkapasitas 5.000 penonton.
"Ini sebuah kekayaan yang tidak bisa dinilai dengan apapun, tidak bisa dengan uang, miliaran pasti lebih, triliunan juga mungkin lebih, karena memang tidak bisa dinilai dengan uang," tutur Jokowi yang mengaku pengagum lukisan-lukisan karya Gunarsa.
Nyoman Gunarsa yang tercatat sebagai pendiri Sanggar Dewata Indonesia di Yogyakarta pada 1970 untuk menghimpun para seniman di Tanah Air itu, memang mempunyai gagasan cemerlang sehingga museumnya tidak pernah sepi dari aktivitas berkesenian.
Setiap saat, ada saja kegiatan yang digelar di museumnya, baik bersifat lokal Bali, nasional, maupun internasional.
Bahkan lomba barong dengan peserta dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali pun untuk pertama kali dilaksanakan Museum Gunarsa dengan menyediakan hadiah total ratusan juta rupiah.
Akhirnya, lomba serupa kini dilaksanakan Pemkab Gianyar, Pemkab Badung, dan sejumlah daerah lainnya di Bali untuk kesinambungan tradisi itu.
Selain itu, almarhum juga tercatat pernah menggelar kompetisi "Baligraphy" yang melibatkan utusan dari sembilan negara dalam memeriahkan "International Festival of Balinese Language" (IFBL) serta menerbitkan buku tentang seni lukis klasik bali.
Buku yang diterbitkan sendiri itu, didorong tekadnya untuk melestarikan, mendata, membukukan, karya-karya seni lukis klasik Bali yang pernah mencapai puncak-puncak peradaban seni budaya Bali pada abad XV, sewaktu pemerintahan Raja Dalem Waturenggong hingga perkembangannya kini.
Seni lukis klasik tersebut sebenarnya berkembang ke seluruh pelosok Pulau Bali, Lombok, Blambangan, Pasuruan, Bone, yang pernah dikuasai raja dari Pulau Dewata.
Kini, seni lukis klasik Bali masih tetap eksis secara turun temurun di Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung.
Seni lukis klasik Bali merupakan seni lukis yang mempunyai nilai filosofi agama Hindu yang sangat lengkap karena melukiskan cerita Ramayana, Mahabrata, Tantri, Pelelintangan, Rerajahan, Uku Penanggalan, dan Dewata Nawasanga.
Semua itu diterapkan Nyoman Gunarsa dalam karya-karya lukisnya, namun sang maestro sudah mengarah ke seni modern sehingga seni lukis tersebut memberikan peluang bagi pengembangan inspirasinya oleh generasi mendatang. (WDY)