Tabanan (Antara Bali) - Petani salak di Kabupaten Tabanan, Bali, saat ini banyak yang menggunakan pupuk biourine dari air kencing kambing yang dinilai lebih menyuburkan dan produksi buahnya meningkat dibandingkan dengan pemakaian pupuk kimia.
"Semenjak menggunakan 'biourine' kambing, buah salak gula pasir di tempat kami tumbuhnya subur dan hasil panen meningkat dibandingkan dengan ketika menggunakan pupuk kimia," kata Ketua Gabungan Kelompok Tani Batur Ibu, Desa Munduk Temu, Kecamatan Pupuan, Tabanan, Nengah Suparta di Tabanan, Sabtu.
Ia menjelaskan, sebelum menggunakan "biourine" kambing, dua atau tiga minggu setelah salak pertama dipanen biasanya salak akan berhenti berbuah dan terpaksa harus menunggu beberapa minggu lagi untuk memetiknya.
Uji coba menggunakan pupuk organik yang biasa disebut "biourine" itu, katanya, telah dimulai bersama teman-teman di kelompoknya semenjak setahun yang lalu, bertepatan dengan pemberian dana program sistem pertanian terintegrasi (simantri) dari Pemprov Bali.
"Dulunya kami tidak tahu jika urine kambing dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai pupuk. Padahal kami di sini telah beternak kambing sekitar 30 tahun," ucapnya.
Suparta mengungkapkan, bantuan simantri sebesar Rp177,73 juta yang diterima gapoktannya pada pertengahan tahun 2010 selanjutnya digunakan untuk membeli 42 kambing betina, lima ternak jantan, membuat kandang, instalasi pengolahan biogas, sarana pengolahan biourine dan rumah kompos.
"Kambing yang kami ternakkan di sini jenis PE atau peranakan etawa. Dari kambing-kambing itu tiap harinya dihasilkan sekitar 10 liter urine. Tetapi urine itu tidak boleh langsung digunakan sebagai pupuk, harus melalui proses fermentasi selama dua minggu dan setelahnya diputar melalui mesin pengolahan," ujarnya.
Biourine yang telah siap pakai itu, ujar Suparta, kemudian dibagikan kepada anggota kelompok untuk memupuk sekitar 68 hektare lahan yang ditanami beraneka jenis buah-buahan, ada manggis, durian, kopi, dan yang terbanyak salak.
Menurut dia, selain untuk produksi buah, Gapoktan Batur Ibu memang banyak membibitkan salak jenis gula pasir. Saat ini sudah ada 2.000 bibit pohon salak yang berhasil diproduksi oleh kelompoknya. Dari jumlah itu, sudah terjual sebanyak seribu batang dengan harga Rp3.000 per pohon.
"Pemupukan menggunakan biourine itu dilakukan setiap dua minggu sekali dengan perbandingan satu liter biourine dicampur dengan sepuluh liter air. Cara pemupukannya sama dengan penggunaan pupuk kimia," katanya.
Ia mengatakan, sejauh ini biourine yang dihasilkan kelompoknya hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan anggota, belum sampai hingga dijual karena tingginya permintaan petani setempat.
"Belakangan, biourine juga kami coba gunakan pada tanaman durian dan kopi. Pada tanaman kopi, daun menjadi hijau mengkilat sedangkan pada tanaman durian belum dapat kami sampaikan hasilnya sekarang karena ini paling terakhir kami uji coba. Sejauh ini masih dalam proses pengamatan," ujarnya.
Selain menggunakan "biourine", kata Suparta, tanaman petani anggotanya juga dipadukan menggunakan pupuk organik yang berasal dari sisa ranting pakan kambing dan ampas biogas kotoran ternak itu. Semenjak adanya sistem pertanian terintegrasi, kelompoknya sudah menihilkan penggunaan pupuk kimia.
"Salak hasil petani di sini, selain dijual ke pasar tradisional juga kami jual ke berbagai supermarket yang ada di Bali. Untuk saat ini, karena musim panen harga per kilogramnya sekitar Rp 16 ribu," katanya.(*)