Pesta Kesenian Bali sebagai helatan akbar tahunan yang
dinanti-nanti masyarakat Pulau Dewata menjadi salah satu wahana untuk
melestarikan kesenian Bali. Maka, tidak mengherankan kalau pengunjung
yang bertandang ke Taman Budaya Denpasar selama pelaksanaan PKB dapat
bernostalgia dengan sejumlah kesenian lawas, bahkan mungkin yang belum
pernah ditonton sama sekali. Ya, penampilan kesenian yang tergolong
dalam kesenian rekonstruksi inilah yang menjadi salah satu ciri khas
PKB.
Dalam PKB ke-39 yang sudah berlangsung selama tiga pekan
lebih, ada sejumlah kesenian rekonstruksi yang telah dipentaskan
seperti Nolin, Gambuh, Bumbung Gebyog, Janger Menyali, Legong Klasik dan
sebagainya. Meskipun tergolong kesenian yang usianya sudah "tidak muda"
lagi, kehadiran kesenian rekonstruksi ini ternyata digemari juga oleh
generasi muda bahkan anak-anak. Hal ini dapat dilihat dari membludaknya
jumlah penonton dari berbagai usia untuk setiap pementasan tersebut.
Kesenian rekonstruksi merupakan kesenian yang wajib dibawakan
oleh setiap kabupaten/kota di Bali. Hal ini mengacu pada tujuan
pelaksanaan PKB sebagai wadah untuk pelestarian seni budaya, di samping
untuk sarana pengembangan seni dan menampilkan kreasi baru. Menyitir
pernyataan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha,
bahwa dalam pelaksanaan PKB, bobot yang diberikan untuk kesenian yang
bersifat pelestarian sebesar 60 persen, 20 persen untuk kesenian
pengembangan, dan sisanya 20 persen lagi untuk seni kreasi baru.
Persentase ini tentu berbeda dengan dua gelaran kesenian besar
lainnya yang dihelat Pemprov Bali yakni Bali Mandara Mahalango (BMM)
dan Bali Mandara Nawanatya (BMN). Dalam kegiatan budaya BMM yang digelar
seusai Pesta Kesenian Bali, persentase terbesar (60 persen) diberikan
pada kesenian yang bersifat pengembangan, sedangkan kesenian yang
bersifat pelestarian maupun kreasi baru masing-masing 20 persen.
Sementara itu, dalam Bali Mandara Nawanatya yang dilaksanakan selama
setahun penuh di luar kegiatan PKB dan BMM, kesenian yang bersifat
kreasi baru yang mendapatkan porsi terbesar yakni 60 persen, sisanya 20
persen untuk kesenian pengembangan dan 20 persen untuk kesenian yang
bersifat pelestarian.
Lalu, bagaimana implementasi sejumlah kesenian rekonstruksi
selama berlangsungnya PKB kali ini? Menurut budayawan sekaligus Ketua
Tim Kurator PKB ke-39, Prof Dr I Wayan Dibia, secara umum kualitas
kesenian dalam PKB sudah semakin baik. Hanya saja belum semua kesenian
rekonstruksi yang telah tersaji dapat berhasil dengan misinya.
Dia
mengapresiasi sudah ada usaha dari para seniman untuk melakukan upaya
pembangkitan terhadap kesenian-kesenian yang hampir punah. Namun, tidak
dapat dipungkiri bahwa sumber-sumber yang akan dijadikan dasar dari
kesenian yang akan direkonstruksi itu tidak semuanya mudah didapatkan
ataupun kondisinya masih lengkap. Seniman yang menjadi pelakunya kala
itu pun masih sedikit, ataupun bahkan sudah tidak tersisa lagi. Alhasil,
labelnya saja kesenian rekonstruksi, tetapi penampilannya tidak terpaut
jauh dengan bentuk kesenian pengembangan.
Terkait keterbatasan sumber untuk merekonstruksi, telah diakui
oleh sejumlah seniman yang tampil. Kesenian Nolin dari Klungkung
misalnya, atau di daerah lain yang dikenal dengan Mandolin. Di daerah
setempat saat ini hanya tersisa satu seniman yang menjadi pelaku
kesenian itu pada saat jaya-jayanya di era 1960-an, demikian juga dengan
alat musik untuk memainkannya sulit diperoleh.
Ada juga kesenian Janger dari Desa Menyali, Kabupaten
Buleleng yang direkonstruksi untuk pertama kalinya dalam Pesta Kesenian
Bali tahun ini. Pihak desa setempat mengumpulkan satu persatu lagu-lagu
yang pernah dinyanyikan pemain Janger beberapa dasa warsa lalu dari
beberapa pelaku kesenian yang masih tersisa. Meskipun pelaku yang masih
tersisa itu bukanlah pelaku Janger Menyali saat masa keemasannya di era
1920 hingga 1930-an.
Pandangan tidak jauh berbeda dilontarkan oleh seniman yang
merekonstruksi sejumlah kesenian Palegongan Klasik. Untuk merekonstruksi
tarian tersebut, pihaknya berbekal bantuan sejumlah keterangan para
maestro yang sempat menyaksikan pementasan Palegongan kala itu,
sedangkan sumber tertulisnya nyaris tidak ada.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali ke
depannya, sebaiknya kesenian rekonstruksi benar-benar dirancang dengan
baik dengan waktu yang cukup dan tidak hanya sekadar kejar target pentas
di PKB, sehingga kesenian yang ditampilkan dapat benar-benar utuh.
Selanjutnya, generasi muda juga dapat mengetahui dengan benar bagaimana
sesungguhnya kesenian terdahulu itu, untuk kemudian dipelajari kembali
sebagai bentuk upaya pelestariannya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh budayawan yang juga Ketua
Tim Pengawas Independen Pesta Kesenian Bali ke-39, Prof Dr I Made Bandem
mengharapkan agar pengembangan atau modernisasi kesenian itu tetap
menjaga akarnya. Jangan sampai hilang ciri-ciri khasnya untuk kemudian
ditularkan pada generasi muda dengan mengajak mereka turut mengambil
peran.
Pemerintah hendaknya terus melakukan pembinaan terhadap
kesenian-kesenian kuno yang mayoritas bersifat sakral karena Seni Wali
(seni sakral) adalah sumber dari Seni Bebali dan Balih-Balihan. Di luar
kegiatan Pesta Kesenian Bali, seyogyanya ada dana khusus untuk
melestarikan kesenian sakral yang diberikan oleh pemerintah kepada
desa-desa yang masih memelihara seni sakral.
Maestro "Turun Gunung"
Satu hal istimewa dalam Pesta Kesenian Bali ke-39 ini adanya
pementasan kesenian klasik Prembon yang dibawakan oleh para maestro seni
tari. Mereka "turun gunung" tiada lain untuk memberikan contoh kepada
seniman-seniman muda maupun masyarakat umum bagaimana sesungguhnya
kesenian Prembon klasik yang sesuai dengan pakem. Prembon sendiri
merupakan satu diantara sekian kesenian lawas yang direkonstruksi,
dengan ciri khasnya perpaduan antara kesenian Arja dengan Topeng.
Sejumlah deretan nama maestro yang "turun gunung" seperti Tjokorda Raka
Tisnu, I Made Jimat, Ni Nyoman Candri, Ni Ketut Karmini, I Gusti Putu
Sudartha, I Ketut Kodi, I Made Bandem, I Gusti Lanang Ardika, dan I
Nyoman Cakra.
Lewat penampilan Prembon klasik tersebut diharapkan dapat
dijadikan acuan bagi para seniman muda. Seperti yang disampaikan Prof
Dibia mungkin saja seniman muda mementaskan di luar pakem karena tidak
pernah tahu struktur Prembon klasik yang sebenarnya. Demikian pula
terjadinya eksploitasi unsur humor dalam sejumlah dramatari Bali,
termasuk Prembon, karena seniman dalam seni pertunjukan populer terlalu
merespons apa yang diminati penonton dan menjadi sedikit bergeser dari
pakem aslinya.
Belakangan ini semakin banyak pula dramatari Bali yang
campur-baur. Tidak hanya dalam Prembon, ada juga Drama Gong yang
dicampur unsur Calonarang. Demikian juga bebondresan di Calonarang
diambil dari Drama Gong. Namun karena tugas PKB ini adalah pelestarian,
maka para maestro ingin mengembalikan bagaimana Prembon yang asli, yang
lahir saat penjajahan Jepang sekitar tahun 1942.
Tak hanya berhenti di pementasan, para maestro seni tari juga
secara khusus membahas mengenai Gambuh, yang juga salah satu kesenian
rekonstruksi, dalam kegiatan Semiloka Pesta Kesenian Bali. Gambuh
diyakini sebagai sumber dari tari Bali dan Gambuh memiliki pakem seni
yang adiluhung, serta merupakan dramatari yang paling tua, bahkan
diperkirakan berasal dari zaman Dalem Waturenggong sekitar abad ke-16.
Lewat semiloka tersebut diharapkan dalam mengembangkan Gambuh jangan
sampai menghilangkan kekhasannya seperti gerakan "agem dan tandang"
tari. (*/ADT/2017)
PKB Jangan Sekadar Berlabel Rekonstruksi
Sabtu, 1 Juli 2017 10:02 WIB