Makassar (Antara Bali) - Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtar Tompo
menyebut PT Freeport Indonesia (PTFI) hingga saat ini tidak punya itikad
baik dalam berbisnis di Indonesia karena perintah untuk membangun
smelter diabaikannya.
"Saya secara tegas menyatakan bahwa arogansi yang ditunjukkan PT
Freeport Indonesia (PTFI) dalam berbisnis di Indonesia, tak berbeda
dengan gaya VOC, perusahaan asal Belanda di zaman penjajahan dahulu,"
tegas Mukhtar Tompo yang dikonfirmasi, Senin.
Ia alasan dirinya menyebut PT Freeport tidak beritikad baik karena
Freeport berdalih, bahwa pembangunan smelter hanya akan dilakukan jika
pemerintah memberikan kepastian perpanjangan kontrak setelah 2021.
Muhktar mengatakan, dasarnya menyebut PTFI tidak beritikad baik
setelah dirinya mengajukan sejumlah bukti terkait dengan sikap arogansi
PT Freeport Indonesia.
Pertama, Freeport tidak punya itikad baik untuk membangun smelter,
sesuai yang dipersyaratkan Undang Undang Minerba. Belakangan, Freeport
baru mau melanjutkan pembangunan smelternya jika diberikan kepastian
perpanjangan kontrak.
Alasan kedua, ketika Freeport bersurat untuk melakukan perubahan
bentuk pengusahaan pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK), mereka menggunakan frase "dengan syarat" yang salah satunya
persetujuan operasi PTFI melewati tahun 2021 atau perpanjangan operasi
2021-2041.
"Untung orang yang memimpin Kementerian ESDM, berkepala dingin
seperti Pak Iganasius Jonan. Kalau saya menterinya, tanpa pikir panjang
lagi, saya langsung usir mereka. Ini negeri kita, kok mereka mau
mendikte. Seolah negara ini tidak punya kedaulatan," jelasnya.
Menurut Mukhtar, Freeport selalu mengatasnamakan Kontrak Karya
(KK), untuk melanggar sejumlah undang-undang atau peraturan yang berlaku
di Indonesia.
Padahal, dalam pasal 3 kontrak karya ditegaskan bahwa PTFI adalah
suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan UU Republik Indonesia,
serta tunduk kepada UU dan yurisdiksi pengadilan di Indonesia.
"Saya menganggap cara pandang Freeport yang menganggap dirinya
setara dengan pemerintah adalah cara pandang keliru. Saya mengutip
pandangan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof
Hikmahanto Juwana, bahwa Freeport harus membedakan Pemerintah sebagai
subyek hukum perdata dan sebagai subyek hukum publik," ucapnya.(WDY)
Freeport Disebut Tidak Beritikad Bangun Smelter
Selasa, 14 Maret 2017 7:31 WIB