Geliat pariwisata Bali telah mendunia, bahkan menjadi kebanggan negeri. Keindahan alam, kekayaan budaya, dan keramahan warganya menjadi daya tarik bagi turis asing maupun domestik.
Namun bagaimana perhatian warga Bali terhadap dunia pendidikan, terutama untuk membudayakan kebiasaaan membaca bagi generasi mudanya?
Seperti di banyak daerah lain di Indonesia, minat baca masyarakat Bali terbilang rendah. Berdasarkan survei Perpustakaan Nasional pada 2015 di 28 kabupaten/kota di 12 provinsi atau mewakili 75 persen populasi seluruh Indonesia, hanya 25 persen masyarakat berminat membaca.
Bahkan menurut studi "Most Littered Nation in the World" yang dilakukan Central Connecticut State University pada 2016, minat baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara.
Untuk menyikapi kondisi tersebut, sepasang suami istri asal Desa Kesiman, Bali, yakni Agung Alit dan Hani Duarsa menggagas sebuah taman baca yang turut meleburkan konsep tempat berkumpul antarkomunitas, sebuah konsep yang dianggap belum ada di Pulau Dewata.
Tempat yang berlokasi di Denpasar, Bali, itu diberi nama Taman Baca Kesiman atau kerap disebut TBK oleh pengurus dan pengunjungnya.
Ide tersebut berpangkal dari keinginan pasangan yang berprofesi sebagai "fair trader" ini, untuk berbagi koleksi bacaan yang kurang lebih mencapai 2.500 buku.
Keduanya kemudian menciptakan konsep perpustakaan yang unik, lengkap dengan kebun tanaman organik, dapur, serta venue untuk berbagai kegiatan komunitas.
Bangunan utama TBK yang terletak di kawasan permukiman di Jalan Sedap Malam, Denpasar, itu menyimpan buku-buku beragam tema mulai dari sosial, filsafat, sastra, agama, Islam, perempuan, hingga kajian antropologi.
Deretan karya penulis terkenal seperti Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, Goenawan Mohamad, Mochtar Lubis, Jean Paul Sartre, Charles Dickens, Shakespeare, dan Gabriel Garcia Marquez dapat dengan mudah ditemukan di dalam rak-rak bangunan perpustakaan yang memiliki banyak jendela.
Beberapa karya yang tergolong langka seperti seri "Di Bawah Bendera Revolusi" karangan Presiden pertama RI Soekarno juga menjadi koleksi taman baca yang beroperasi sejak 2014 ini.
Selain disediakan meja dan bangku-bangku nyaman, ruangan dalam perpustakaan juga dilengkapi pendingin ruangan yang akan membuat pembaca semakin kerasan.
Ruang perpustakaan dekat dengan dapur yang menyajikan kopi, minuman ringan, dan makanan yang diolah dari hasil panen kebun organik di halaman depan TBK. Dinding dapur bagian luar dihias dengan lukisan hitam putih bergambar ikon sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, serta tokoh pergerakan perempuan RA Kartini.
Sementara di halaman belakang terdapat lapangan yang dapat digunakan sebagai panggung orasi, pemutaran film, pagelaran musik, maupun lapangan bola.
"Fokus kami memang untuk pengembangan kebudayaan literasi, tetapi tidak terbatas pada itu. Kami ingin ruang ini dimanfaatkan seluas-luasnya oleh berbagai kalangan dan latar belakang," ujar Manajer Program TBK, Gede Indra Pramana, saat ditemui Antara pekan lalu.
Dalam perjalanannya, taman baca tersebut tidak sebatas memfasilitasi buku yang bica dibaca di tempat oleh para pengunjungnya, tetapi juga dimanfaatkan anak usia sekolah dasar untuk bermain bola atau untuk program diskusi dan tempat latihan teater oleh siswa sekolah menengah atas.
Sementara kalangan mahasiswa datang ke TBK untuk menggelar acara komunitas, ulang tahun fakultas, atau sekadar membaca sambil mengerjakan tugas kuliah.
Kerja Kolaborasi
Selain perpustakaan dan lahan bercocok tanam, fungsi lain TBK yang cukup menonjol yakni ruang bagi kegiatan antarkomunitas.
Selama 2016, tidak kurang dari 48 kegiatan berhasil diselenggarakan di taman baca yang berkapasitas 400 orang ini.
Dosen filsafat Universitas Indonesia sekaligus aktivis peduli lingkungan Saras Dewi pernah menyelenggarakan diskusi tentang bukunya "Ekofenomenologi"di sini, begitu pula novelis Okky Madasari yang hadir mengisi bincang buku karyanya "Kerumunan Terakhir".
TBK juga memberi ruang bagi penulis-penulis baru, di antaranya Dwi S Wibowo meluncurkan kumpulan cerita pendeknya "Khotbah" serta Dewi Kharisma Michellia memperkenalkan karyanya "Elegi".
September lalu, TBK ikut andil menyelenggarakan pemutaran film dan diskusi sebagai rangkaian acara "Pekan Merawat Ingatan" memperingati 12 tahun meninggalnya aktivis HAM, Munir. Acara ini merupakan hasil kerja sama dengan KontraS, Imparsial, dan YLBHI.
Lokakarya menulis esai budaya dalam rangka "World Culture Forum 2016", lokakarya fotografi, serta pelatihan jurnalisme warga juga pernah diselenggarakan TBK bekerjasama dengan komunitas terkait.
"Prinsip kerja kolaborasi adalah saling mendukung antarjejaring dan melibatkan multipihak, karena kalau tidak dipaksa seperti itu maka iklim belajar bersama dan kolektifitas tidak akan tercipta," kata Indra.
Tahun ini, TBK memiliki beberapa program yang akan dilanjutkan dari tahun lalu antara lain Berdendang dan Cinecoda.
Berdendang digagas untuk menunjukkan kreativitas dan mendorong daya kritis seseorang melalui musik, bahan bacaan, kemudian mendiskusikannya bersama.
Sementara Cinecoda adalah program kerja sama TBK dengan Alliance Francaise Bali dan Festival Film Dokumenter untuk pemutaran dan diskusi film.
Dalam situsnya, yang sangat mudah diakses oleh pengguna internet, TBK memperkenalkan diri sebagai "kawan perubahan" yang nyata dengan menyediakan tempat baca yang jauh dari kesan kaku dan serius.
Namun jika menilik lebih jauh tentang peran TBK, semangat menularkan minat baca dan budaya literasi telah meluas dari membaca bundelan buku-buku menjadi pertukaran ide melalui diskusi, pemutaran film, dan pertunjukan musik.
Tidak berlebihan jika kemudian TBK dianggap menghidupkan kembali budaya literasi, kreativitas, dan hubungan antarindividu yang kian tergerus perkembangan teknologi dan globalisasi. (WDY)
Taman Baca Kesiman, Semangat Menghidupi Budaya Literasi
Senin, 13 Maret 2017 13:58 WIB