Denpasar (Antara Bali) - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali mendesak lembaga penyiaran di Bali untuk menghentikan iklan pengobatan yang tidak mengantongi izin.

"Selain itu tidak lagi menerima iklan pengobatan dari lembaga pengobatan yang belum mengantongi izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Bali," kata Ketua KPID Bali A.A Rai Sahadewa pada acara "Sosialisasi PP No. 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Permenkes No. 1787 Tahun 2010 tentang iklan dan publikasi Layanan Kesehatan" di Denpasar, Kamis.

Ia menyampaikan KPID Bali telah berulangkali mengingatkan lembaga penyiaran baik berupa surat imbauan, surat edaran bahkan dalam bentuk surat ketentuan penayangan pengobatan alternatif.

"Jika berdasarkan ketentuan pasal 11 ayat (3) disebutkan bahwa lembaga penyiaran dilarang menayangkan jasa pengobatan yang tidak mendapatkan izin dari lembaga berwenang. Lembaga berwenang yang dimaksud adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/kota. "Iklan pengobatan alternatif yang ada tolong diturunkan dulu, apalagi yang belum memiliki izin" tegas Rai Sahadewa.

Rai Sahadewa mengakui tidak semua lembaga penyiaran menayangkan iklan pengobatan alternatif. Apalagi lembaga penyiaran yang tidak menayangkan tersebut telah memiliki kebijakan tersendiri dan karena terdapat komitmen dalam upaya perlindungan kepada masyarakat.

"Lembaga penyiaran memiliki kewajiban untuk memberikan informasi kesehatan yang benar kepada masyarakat" ujar Rai Sahadewa.

Rai Sahadewa menambahkan, dalam upaya melakukan pengawasan iklan pengobatan alternatif saat ini telah ada tim pengawasan bersama. Tim pembinaan dan pengawasan tersebut melibatkan berbagai komponen mulai dari IDI, Polda, BPOM, Kejaksaan, Satpol PP, KPI dan YLKI. Tim pembinaan dan pengawasan pelayanan kesehatan tradisional ini ditetapkan dalam keputusan gubernur Bali nomor 532/03-B/HK/2016.

Sementara Kepala UPT Jaminan Kesehatan Masyarakat Bali (JKMB) I Gusti Ayu Putri Mahadewi mengakui sedang melakukan penataan karena saat ini cukup banyak pengobatan yang tidak berizin dan merugikan masyarakat.

"Bukan hanya merugikan masyarakat. bahkan ada masyarakat yang menjadi korban. jangan sampai masyarakat tersesat" ujar Mahadewi.

Mahadewi mengungkapkan bahwa jasa pengobatan merupakan wewenang Dinas Kesehatan, namun perlu keterlibatan lembaga penyiaran melakukan filter saat jasa pengobatan akan beriklan.

Lembaga penyiaran dapat memfilter dengan meminta izin dari jasa pengobatan. sehingga jangan sampai yang tidak berizin yang berpromosi atau beriklan di media. Sesuai aturan kesehatan bagi jasa pengobatan ada dua izin. Ada yang Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT) dan surat izin penyehat tradisional (SIPT).

Dari dua izin yang ada hanya yang memegang SIPT yang memiliki hak untuk berpromosi di lembaga penyiaran.

Ia mengharapkan lembaga penyiaran saat memproduksi atau menayangkan iklan pengobatan memperhatikan etika iklan. Dalam permenkes tentang iklan dan publikasi pelayanan kesehatan sudah sangat jelas disebutkan bahwa iklan kesehatan harus memuat informasi yang akurat, informatif, edukatif, bertanggungjawab dan berbasis bukti, iklan kesehatan juga tidak boleh pamer, memberi informasi palsu, dan tidak boleh menampilkan testimoni.

Mahadewi menambahkan berdasarkan data Dinas Kesehatan Bali jumlah pengobat tradisional di Bali saat ini mencapai 3.200 pengobat. Dari jumlah tersebut hanya empat persen yang memiliki STPT dan stu persen memiliki SIPT.

Sementara jasa pengobat yang boleh beriklan di media apabila sudah memiliki SIPT. Khusus yang memegang STPT belum boleh beriklan di media, karena STPT hanya tanda terdaftar bukan izin. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016