Karangasem (Antara Bali) - Usaba Kaulu Pecaruan Agung di Dusun Asak, Desa Timbrah, Kecamatan Karangasem, Bali, memberlakukan sanksi denda bagi teruna-teruna yang mengikuti ritual "nyepeg sampi" atau menebas sapi.
"Teruna yang ikut nyepeg sampi di wilayah dusun, dikenakan denda masing-masing Rp150 ribu. Uang denda itu nanti untuk kas," kata Bendesa Adat Dusun Asak Jro Dukuh Ketut Suta di Timbrah, Kamis.
Senjata yang digunakan untuk "nyepeg sampi" adalah jenis Belakas Sudamala yang khusus digunakan untuk ritual Usaba Kaulu. Pisau itu menggunakan bahan baku baja dan pegangan senjata itu terbuat dari perak.
Dia melanjutkan, meski dikenakan sanksi denda, namun para teruna tidak keberatan asal tidak sampai mengejar sapi itu sampai jauh-jauh. Setahun silam, sapi yang digunakan pecaruan itu pernah lepas sampai di kawasan objek wisata Candidasa, sehingga teruna-teruna berlarian mengejar hingga di kejauhan.
Arah sapi berlari, memiliki makna sendiri. Kalau sapi berlari ke arah utara, mengandung arti kesuburan. Timur melambangkan adanya cahaya kebahagiaan. Selatan itu kemakmuran dan kebijaksanaan. Barat berarti adanya kegelapan di alam.
"Pada ritual kali ini, sapi berlari ke arah selatan, menyiratkan bahwa dalam kehidupan di negeri kita diwarnai kemakmuran dan kebijaksanaan," ujar Jro Dukuh.
Usaba Kaulu diadakan setiap tahun di Dusun Asak Kangin. Sejak pagi, penduduk Asak menggunakan busana adat dan memenuhi sisi jalan untuk melangsungkan upacara pecaruan.
Pada dusun yang dihuni 1.327 jiwa ini, penduduk tidak ada yang berani melanggar untuk tidak menyelenggarakan dikarenakan khawatir nanti ada hal-hal kurang baik menimpa warga desa. Seperti musibah atau kejadian tak diinginkan lainnya.
"Dahulu pernah dilakukan pecaruan tidak seperti apa yang diajarkan leluhur. Jadi sebelum pecaruan, sapi diarak keliling kampung tiga kali. Akibatnya, ada saja konflik dan musibah yang menimpa dusun. Sejak itu kami kembali lagi melakukan rangkaian upacara seperti yang diwariskan leluhur. Tidak ada penambahan kegiatan, akhirnya malah aman-aman saja," ucap dia.
Tahapan upacara dimulai dengan kegiatan jaga-jaga, `ngiterin` atau berkeliling di wilayah desa, `ngewangun` batang pisang, nedunin Bhatara dan `nyepeg sampi`.
"Ngewangun batang pisang" setinggi sekitar 2,5 meter dan dihiasi dengan janur, "lis", "lamak", pis bolong dan banten, untuk menghormati leluhur dan persembahan Siwa Reringgiting Guru. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Teruna yang ikut nyepeg sampi di wilayah dusun, dikenakan denda masing-masing Rp150 ribu. Uang denda itu nanti untuk kas," kata Bendesa Adat Dusun Asak Jro Dukuh Ketut Suta di Timbrah, Kamis.
Senjata yang digunakan untuk "nyepeg sampi" adalah jenis Belakas Sudamala yang khusus digunakan untuk ritual Usaba Kaulu. Pisau itu menggunakan bahan baku baja dan pegangan senjata itu terbuat dari perak.
Dia melanjutkan, meski dikenakan sanksi denda, namun para teruna tidak keberatan asal tidak sampai mengejar sapi itu sampai jauh-jauh. Setahun silam, sapi yang digunakan pecaruan itu pernah lepas sampai di kawasan objek wisata Candidasa, sehingga teruna-teruna berlarian mengejar hingga di kejauhan.
Arah sapi berlari, memiliki makna sendiri. Kalau sapi berlari ke arah utara, mengandung arti kesuburan. Timur melambangkan adanya cahaya kebahagiaan. Selatan itu kemakmuran dan kebijaksanaan. Barat berarti adanya kegelapan di alam.
"Pada ritual kali ini, sapi berlari ke arah selatan, menyiratkan bahwa dalam kehidupan di negeri kita diwarnai kemakmuran dan kebijaksanaan," ujar Jro Dukuh.
Usaba Kaulu diadakan setiap tahun di Dusun Asak Kangin. Sejak pagi, penduduk Asak menggunakan busana adat dan memenuhi sisi jalan untuk melangsungkan upacara pecaruan.
Pada dusun yang dihuni 1.327 jiwa ini, penduduk tidak ada yang berani melanggar untuk tidak menyelenggarakan dikarenakan khawatir nanti ada hal-hal kurang baik menimpa warga desa. Seperti musibah atau kejadian tak diinginkan lainnya.
"Dahulu pernah dilakukan pecaruan tidak seperti apa yang diajarkan leluhur. Jadi sebelum pecaruan, sapi diarak keliling kampung tiga kali. Akibatnya, ada saja konflik dan musibah yang menimpa dusun. Sejak itu kami kembali lagi melakukan rangkaian upacara seperti yang diwariskan leluhur. Tidak ada penambahan kegiatan, akhirnya malah aman-aman saja," ucap dia.
Tahapan upacara dimulai dengan kegiatan jaga-jaga, `ngiterin` atau berkeliling di wilayah desa, `ngewangun` batang pisang, nedunin Bhatara dan `nyepeg sampi`.
"Ngewangun batang pisang" setinggi sekitar 2,5 meter dan dihiasi dengan janur, "lis", "lamak", pis bolong dan banten, untuk menghormati leluhur dan persembahan Siwa Reringgiting Guru. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016