Singaraja (Antara Bali) - Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) Kabupaten Buleleng, Bali menilai penanganan HIV/AIDS di daerah itu membutuhkan sinergitas dan kerja sama semua pihak mulai dari pemerintah, kepolisian, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat.
"Saat ini Buleleng menempati posisi ketiga pengidap HIV/AIDS mencapai 2.479 kasus setelah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung dimana jumlah tersebut merupakan akumulasi dari 1999 sampai September 2015," kata Koordinator YCUI Buleleng, Made Ricko Wibawa di Singaraja, Sabtu.
Menurut dia, sinergisitas yang dimaksud adalah semua komponen yang ada tidak bekerja sendiri dan harus berjalan dalam satu sistem yang ada sehingga penanganan kasus HIV/Aids tepat dan cepat mencapai sasaran.
"Saat ini pemerintah harus menjadi garda terdepan dalam penanganan HIV/Aids karena kebijakan dan wewenang ada di tangan mereka. Dengan kewenangan yang ada hendaknya dapat diintensifkan peran sekolah dengan kelompok siswa peduli HIV/Aids (KSPAN) dan secara tegas berani menutup warung remang remang dan cafe liar yang selama ini terindikasi sebagai tempat penyebaran HIV/Aids terbesar," kata dia.
Selain itu, ia menambahkan, hendaknya kerja sama dengan LSM lebih ditingkatkan lagi. Apalagi, saat ini banyak yayasan/LSM jarang mendaparkan sokongan dana dari donatur luar negeri. "Seperti saat ini, YCUI Buleleng tidak lagi mendapatkan hibah dana dari luar, sehingga otomatis kami bergerak dengan keadaan seadanya," imbuhhnya.
Ia mengharapkan, di tempat itulah Pemda semestinya bergerak reaktif tanpa diminta dengan menggandeng LSM/yayasan peduli HIV/Aids bersama sama memerangi penyakit paling mematikan itu. "Itulah yang disebut dengan sinergitas," kata dia.
Di sisi lain, ia mengungkapkan, yang lebih memprihatinkan dari kasus HIV/AIDS di Bali bagian utara adalah sekitar 50 persen di antaranya merupakan usia produktif dari kisaran 15 sampai 39 tahun.
"Hal itu patut disayangkan karena generasi muda adalah penerus bangsa, bagaimana nasib bangsa kedepan jika generasi muda tidak memiliki terjangkit penyakit yang sampai saat ini masih ditetapkan sebagai penyakit yang sangat berbahaya di tanah air," papa dia.
Selain itu, kata dia, pada tahun ini saja, setiap bulannya, rata-rata ada pengidap HIV/Aids baru mencapai 15 sampai 20 orang. "Itu yang baru terdeteksi, belum lagi yang belum karena berbicara HIV/Aids seperti fenomena gunung es," papar dia.
Banyaknya penderita dari usia produkstif menurutnya karena pergaulan bebas yang kian marak. Terutama pergaulan bebas di kalangan remaja. "Seks bebas kini sepertinya sudah menjadi kewajaran di kalangan remaja," katanya.
Ia berpendapat, seks bebas sudah menjadi gaya hidup dan jika remaja tidak melakukannya, maka akan dikucilkan oleh lingkungannya karena dianggap tidak gaul. "Itulah fenomena yang terjadi saat ini," kata dia.
"Sekarang kita melihat perilaku anak muda sangat mengkhawatirkan sekali, seks bebas bukan hal yang tabu lagi untuk mereka, pasangan berganti-ganti sudah menjadi tren untuk mereka. Habis dipakai ini terus dipakai temannya lagi, dan terus bergilir," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Saat ini Buleleng menempati posisi ketiga pengidap HIV/AIDS mencapai 2.479 kasus setelah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung dimana jumlah tersebut merupakan akumulasi dari 1999 sampai September 2015," kata Koordinator YCUI Buleleng, Made Ricko Wibawa di Singaraja, Sabtu.
Menurut dia, sinergisitas yang dimaksud adalah semua komponen yang ada tidak bekerja sendiri dan harus berjalan dalam satu sistem yang ada sehingga penanganan kasus HIV/Aids tepat dan cepat mencapai sasaran.
"Saat ini pemerintah harus menjadi garda terdepan dalam penanganan HIV/Aids karena kebijakan dan wewenang ada di tangan mereka. Dengan kewenangan yang ada hendaknya dapat diintensifkan peran sekolah dengan kelompok siswa peduli HIV/Aids (KSPAN) dan secara tegas berani menutup warung remang remang dan cafe liar yang selama ini terindikasi sebagai tempat penyebaran HIV/Aids terbesar," kata dia.
Selain itu, ia menambahkan, hendaknya kerja sama dengan LSM lebih ditingkatkan lagi. Apalagi, saat ini banyak yayasan/LSM jarang mendaparkan sokongan dana dari donatur luar negeri. "Seperti saat ini, YCUI Buleleng tidak lagi mendapatkan hibah dana dari luar, sehingga otomatis kami bergerak dengan keadaan seadanya," imbuhhnya.
Ia mengharapkan, di tempat itulah Pemda semestinya bergerak reaktif tanpa diminta dengan menggandeng LSM/yayasan peduli HIV/Aids bersama sama memerangi penyakit paling mematikan itu. "Itulah yang disebut dengan sinergitas," kata dia.
Di sisi lain, ia mengungkapkan, yang lebih memprihatinkan dari kasus HIV/AIDS di Bali bagian utara adalah sekitar 50 persen di antaranya merupakan usia produktif dari kisaran 15 sampai 39 tahun.
"Hal itu patut disayangkan karena generasi muda adalah penerus bangsa, bagaimana nasib bangsa kedepan jika generasi muda tidak memiliki terjangkit penyakit yang sampai saat ini masih ditetapkan sebagai penyakit yang sangat berbahaya di tanah air," papa dia.
Selain itu, kata dia, pada tahun ini saja, setiap bulannya, rata-rata ada pengidap HIV/Aids baru mencapai 15 sampai 20 orang. "Itu yang baru terdeteksi, belum lagi yang belum karena berbicara HIV/Aids seperti fenomena gunung es," papar dia.
Banyaknya penderita dari usia produkstif menurutnya karena pergaulan bebas yang kian marak. Terutama pergaulan bebas di kalangan remaja. "Seks bebas kini sepertinya sudah menjadi kewajaran di kalangan remaja," katanya.
Ia berpendapat, seks bebas sudah menjadi gaya hidup dan jika remaja tidak melakukannya, maka akan dikucilkan oleh lingkungannya karena dianggap tidak gaul. "Itulah fenomena yang terjadi saat ini," kata dia.
"Sekarang kita melihat perilaku anak muda sangat mengkhawatirkan sekali, seks bebas bukan hal yang tabu lagi untuk mereka, pasangan berganti-ganti sudah menjadi tren untuk mereka. Habis dipakai ini terus dipakai temannya lagi, dan terus bergilir," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015