Malang (Antara Bali) - Kompor biomasa hasil penelitian yang dilakukan dosen Fakultas MIPA Universitas Brawijaya (UB) Malang Dr Muhammad Nurhuda kini sudah menembus pasar internasional, bahkan sudah diproduksi secara massal di Norwegia.
"Selain dipasarkan dan diproduksi massal di Norwegia, pemasaran dan produksi biomasa yang ditangani pihak ketiga, yakni Primecookstove ini juga dipasarkan di sejumlah negara, seperti India, Meksiko, Peru, Timor Leste, Kamboja dan negara-negara di belahan Afrika," kata Nurhuda ketika ditemui di area pameran hasil penelitian UB di kampus setempat, Kamis.
Ia mengemukakan kompor biomasa ini hemat bahan bakar daripada kompor tradisional (minyak tanah), bahkan tidak menimbulkan asap seperti dapur yang menggunakan bahan bakar kayu atau minyak tanah. Keunggulan lainnya adalah emisi gas buangnya jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Bahan bakar yang bisa digunakan adalah kayu cacahan yang sudah diproduksi dengan mesin berkapasitas sekitar 20 ton per hari, sehingga pengguna kompor biomasa tersebut tidak perlu khawatir kekurangan bahan bakar, apalagi kalau penggunanya bermukim di perdesaan yang masih banyak pepohonan.
Selain kayu cacah yang menjadi bahan bakar utama, bahan bakar lainnya juga bisa menggunakan pelet, sawit atau butiran kayu. Bahkan, bahan bakar butiran kayu atau pelet akan menghasilkan masakan yang lebih beraroma.
Nurhuda mengatakan untuk menghasilkan kompor biomasa berbahan stainless itu, dirinya melakukan penelitian sejak 2008 dan akhirnya menciptakan kompor biomasa. "Kompor biomasa ini memang belum diproduksi dalam jumlah terlalu besar untuk ukuran ekspor dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," ujarnya.
Ia mengakui produksi di dalam negeri justru lebih sedikit, bahkan hanya "by order" dibandingkan dengan yang dipasarkan di sejumlah negara karena berbagai pertimbangan, salah satunya adalah persaingan yang cukup ketat dengan elpiji.
Menurut dia, subsidi elpiji di Indonesia sangat besar, khususnya yang berukuran 3 kilogram. "Kalau pengguna kompor biomasa tinggal di perdesaan yang masih banyak pepohonan dan bisa dijadikan bahan bakar, tentu tidak masalah, namun bagi yang tinggal di perkotaan dan harus membeli kayu cacah atau pelet, memang lebih hemat kompor elpiji," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Selain dipasarkan dan diproduksi massal di Norwegia, pemasaran dan produksi biomasa yang ditangani pihak ketiga, yakni Primecookstove ini juga dipasarkan di sejumlah negara, seperti India, Meksiko, Peru, Timor Leste, Kamboja dan negara-negara di belahan Afrika," kata Nurhuda ketika ditemui di area pameran hasil penelitian UB di kampus setempat, Kamis.
Ia mengemukakan kompor biomasa ini hemat bahan bakar daripada kompor tradisional (minyak tanah), bahkan tidak menimbulkan asap seperti dapur yang menggunakan bahan bakar kayu atau minyak tanah. Keunggulan lainnya adalah emisi gas buangnya jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Bahan bakar yang bisa digunakan adalah kayu cacahan yang sudah diproduksi dengan mesin berkapasitas sekitar 20 ton per hari, sehingga pengguna kompor biomasa tersebut tidak perlu khawatir kekurangan bahan bakar, apalagi kalau penggunanya bermukim di perdesaan yang masih banyak pepohonan.
Selain kayu cacah yang menjadi bahan bakar utama, bahan bakar lainnya juga bisa menggunakan pelet, sawit atau butiran kayu. Bahkan, bahan bakar butiran kayu atau pelet akan menghasilkan masakan yang lebih beraroma.
Nurhuda mengatakan untuk menghasilkan kompor biomasa berbahan stainless itu, dirinya melakukan penelitian sejak 2008 dan akhirnya menciptakan kompor biomasa. "Kompor biomasa ini memang belum diproduksi dalam jumlah terlalu besar untuk ukuran ekspor dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," ujarnya.
Ia mengakui produksi di dalam negeri justru lebih sedikit, bahkan hanya "by order" dibandingkan dengan yang dipasarkan di sejumlah negara karena berbagai pertimbangan, salah satunya adalah persaingan yang cukup ketat dengan elpiji.
Menurut dia, subsidi elpiji di Indonesia sangat besar, khususnya yang berukuran 3 kilogram. "Kalau pengguna kompor biomasa tinggal di perdesaan yang masih banyak pepohonan dan bisa dijadikan bahan bakar, tentu tidak masalah, namun bagi yang tinggal di perkotaan dan harus membeli kayu cacah atau pelet, memang lebih hemat kompor elpiji," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015