Denpasar (Antara Bali) - Sejumlah tokoh masyarakat Bali menilai revisi UU No 64 tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, NTB dan NTT, dapat menjadi momentum untuk kembali memperjuangkan desentralisasi asimetris atau otonomi khusus.
"Apalagi, rencananya pada 2016 itu, revisi UU Provinsi Bali dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah masuk dalam Prolegnas," kata Nyoman Mardika, dari LSM Manikaya Kauci dalam acara diskusi kelompok terfokus (FGD) bertajuk Sinergitas Perjuangan Desentralisasi Asimetris untuk Bali, di Denpasar, Rabu.
Mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali itu menyoroti salah satu penyebab belum berhasilnya perjuangan otonomi khusus Bali sejak beberapa tahun lalu, karena masyarakat Pulau Dewata selama ini tidak kompak atau sulit bersatu.
"Sejauh ini belum ditemukan solusi untuk mengintegrasikan masyarakat Bali. Mungkin perlu kajian antropologis kenapa hal itu bisa terjadi?" tanyanya pada acara yang dilaksanakan oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Warmadewa dengan Bappeda Bali.
Oleh karena itu, menurut dia, revisi terhadap kedua UU itu setidaknya menjadi celah untuk kembali memperjuangkan hal-hal yang menjadi kekhususan Bali. Di samping harus tetap dibahas hal-hal yang bersifat strategis, bukan hanya persoalan teknis.
Sementara itu, I Ketut Wiana, perwakilan Parisada Hindu Dharma Indonesia berpandangan bahwa dalam memperjuangkan desentralisasi asimetris untuk Bali, jangan sampai berjuang dengan arogan. "Jangan sampai bilang paling istimewa hanya untuk mengundang permusuhan, jauh yang terpenting adalah dapat menunjukkan apa saja yang menjadi keunikan Bali," ucapnya.
Wiana menilai seringkali orang Bali itu setiap berbeda pendapat langsung bermusuhan, padahal yang lebih diperlukan adanya argumentasi akademis. "Apa yang menjadi kekhususan Bali harus sudah final," ucapnya.
Sedangkan budayawan I Wayan Geriya menilai dengan adanya revisi terhadap UU Provinsi Bali dan UU Perimbangan Keuangan setidaknya dapat memberikan sedikit energi untuk kembali memperjuangkan otonomi khusus.
"Perubahan terhadap kedua UU tersebut setidaknya menjadi upaya riil, sedangkan momentumnya jika khusus memperjuangkan desentralisasi asimetris saat ini belum begitu tepat, apalagi di tengah masalah situasi ekonomi seperti saat ini," ujarnya.
Menurut Geriya, masih tetap penting jika otonomi khusus Bali dibahas secara akademik dan didokumentasikan, karena memang banyak hal yang layak menjadi kekhususan Bali.
Politisi dari PDI Perjuangan Kabupaten Badung Gusti Ayu Triana Tira mengatakan perlu dibangun kesadaran politik semua elemen, duduk bersama dan mengadakan lobi-lobi antarsemua pihak jika ingin kembali memperjuangkan otonomi khusus.
"Perlu kesadaran kolektif masyarakat Bali. Jika tidak, maka kesempatan ini, lewat revisi UU tersebut bisa lewat lagi," ucap Triana. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Apalagi, rencananya pada 2016 itu, revisi UU Provinsi Bali dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah masuk dalam Prolegnas," kata Nyoman Mardika, dari LSM Manikaya Kauci dalam acara diskusi kelompok terfokus (FGD) bertajuk Sinergitas Perjuangan Desentralisasi Asimetris untuk Bali, di Denpasar, Rabu.
Mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali itu menyoroti salah satu penyebab belum berhasilnya perjuangan otonomi khusus Bali sejak beberapa tahun lalu, karena masyarakat Pulau Dewata selama ini tidak kompak atau sulit bersatu.
"Sejauh ini belum ditemukan solusi untuk mengintegrasikan masyarakat Bali. Mungkin perlu kajian antropologis kenapa hal itu bisa terjadi?" tanyanya pada acara yang dilaksanakan oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Warmadewa dengan Bappeda Bali.
Oleh karena itu, menurut dia, revisi terhadap kedua UU itu setidaknya menjadi celah untuk kembali memperjuangkan hal-hal yang menjadi kekhususan Bali. Di samping harus tetap dibahas hal-hal yang bersifat strategis, bukan hanya persoalan teknis.
Sementara itu, I Ketut Wiana, perwakilan Parisada Hindu Dharma Indonesia berpandangan bahwa dalam memperjuangkan desentralisasi asimetris untuk Bali, jangan sampai berjuang dengan arogan. "Jangan sampai bilang paling istimewa hanya untuk mengundang permusuhan, jauh yang terpenting adalah dapat menunjukkan apa saja yang menjadi keunikan Bali," ucapnya.
Wiana menilai seringkali orang Bali itu setiap berbeda pendapat langsung bermusuhan, padahal yang lebih diperlukan adanya argumentasi akademis. "Apa yang menjadi kekhususan Bali harus sudah final," ucapnya.
Sedangkan budayawan I Wayan Geriya menilai dengan adanya revisi terhadap UU Provinsi Bali dan UU Perimbangan Keuangan setidaknya dapat memberikan sedikit energi untuk kembali memperjuangkan otonomi khusus.
"Perubahan terhadap kedua UU tersebut setidaknya menjadi upaya riil, sedangkan momentumnya jika khusus memperjuangkan desentralisasi asimetris saat ini belum begitu tepat, apalagi di tengah masalah situasi ekonomi seperti saat ini," ujarnya.
Menurut Geriya, masih tetap penting jika otonomi khusus Bali dibahas secara akademik dan didokumentasikan, karena memang banyak hal yang layak menjadi kekhususan Bali.
Politisi dari PDI Perjuangan Kabupaten Badung Gusti Ayu Triana Tira mengatakan perlu dibangun kesadaran politik semua elemen, duduk bersama dan mengadakan lobi-lobi antarsemua pihak jika ingin kembali memperjuangkan otonomi khusus.
"Perlu kesadaran kolektif masyarakat Bali. Jika tidak, maka kesempatan ini, lewat revisi UU tersebut bisa lewat lagi," ucap Triana. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015